Temuan Spesies Baru Asli Indonesia Tahun 2012
1. Laba-Laba Mata Kecil Ditemukan di Menoreh
Ilmuwan Indonesia menemukan spesies laba-laba gua eksotis di bukit
Menoreh, Jawa Tengah. Penemuan Cahyo Rahmadi dari Pusat Penelitian
Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ini membuka penemuan
spesies baru Indonesia di tahun 2012.
"Jenis baru laba-laba ini diberi nama
Amauropelma matakecil karena memiliki mata yang mengecil dan menyisakan bintik-bintik putih di bagian kepalanya," kata Cahyo kepada
Kompas.com,.
Penemuan laba-laba mata kecil ini adalah hasil kerjasama Cahyo dengan Jeremy Miller dari Naturalis Leiden, Belanda.
Laba-laba
ini berwarna putih pucat dan memiliki kaki yang memanjang, berbeda
dengan laba-laba dari luar gua. Selama ini, laba-laba gua di Jawa tak
banyak diketahui. Spesies laba-laba gua Jawa yang umumnya dikenal adalah
Althephus javanensis.
Cahyo mengungkapkan, laba-laba gua yang tergolong dalam famili
Ctenidae ini dimasukkan dalam marga
Amauropelma. Meski demikian, penempatan dalam marga ini masih perlu dikaji lebih lanjut. Sampai saat ini marga inilah yang paling cocok.
Penemuan laba-laba marga
Amauropelma adalah pertama di Jawa sebab umumnya marga
Amauropelma ditemukan di Australia. Sejauh ini, marga
Amauropelma di Jawa hanya ditemukan di tiga gua kawasan bukit Menoreh, pegunungan karst perbatasan barat DI Yogyakarta dan Jawa Tengah.
Cahyo menuturkan, "
Amauropelma matakecil
merupakan salah satu jenis yang unik, karena dari beberapa kali usaha
koleksi dari gua-gua di Menoreh hanya diperoleh spesimen betina.
Spesimen jantan yang penting untuk memastikan identitas jenis ini gagal
diperoleh setelah tiga kali usaha pencarian."
Ada dugaan bahwa
laba-laba gua ini merupakan jenis parthenogetik, atau organisme yang
lahir dari telur-telur yang tidak dibuahi. Namun demikian, dugaan ini
masih perlu diteliti lebih lanjut.
Dalam publikasi penelitian di jurnal Zookeys, Senin (9/1/2012), Cahyo menuturkan, "
A. matakecil
adalah laba-laba gua paling luar biasa dari Jawa karena ukurannya yang
besar, matanya yang mengecil dan kepentingan konservasi."
Tercatat
dalam pengukuran spesimen betina yang didapatkan, ukuran karapas
laba-laba gua ini 3,4 x 2,2 cm, sementara ukuran abdomen atau perutnya
adalah 4,12 x 2,64 cm. Total panjang laba-laba gua ini adalah 7,7 cm.
Sementara,
dari sisi biodiversitas, laba-laba ini membuktikan bahwa bukit Menoreh
kaya akan keanekaragan hayati yang perlu diungkap. Perhatian pada
penelitian eksplorasi spesies di wilayah itu diperlukan.
Wilayah
Bukit Menoreh saat ini tengah terancam oleh pembukaan pabrik semen di
beberapa wilayah. Dengan sendirinya, hal ini menjadi ancaman juga bagi
A. matakecil dan spesies lain yang belum terungkap.
"Kebutuhan
yang mendesak saat ini adalah perlunya rencana strategis ke depan untuk
pengelolaan kawasan karst sehingga dapat diselamatkan dan dimanfaatkan
tanpa merusak dan menghilangkan potensi yang ada di dalamnya baik
potensi biologi, hidrologi maupun potensi lain yang tidak dapat dinilai
dengan uang," ujar Cahyo.
Klasifikasi :
Kelas : Arachnida
Ordo : Araneae
Famili : Ctenidae
Marga : Amauropelma
Jenis : Amauropelma matakecil Miller & Rahmadi, 2012
2. Tawon Garuda dari Sulawesi
Ahli serangga dari University of California menemukan spesies baru
tawon dalam ekspedisi ke Sulawesi. Tawon tersebut dijuluki tawon monster
sebab penampakannya yang menakutkan, memiliki mandibula bak ninja dan
rahang yang lebih panjang dari kaki depannya."Rahang hewan ini
begitu besar sehingga menutup bagian samping kepala. Jika rahang
terbuka, akan tampak lebih panjang dari kaki depan tawon jantan ini,"
ungkap ahli serangga Lim Kimsey, seperti dikutip
Daily Mail.
Kimsey
yang juga kepala Bohart Museum of Entomology mengatakan bahwa ia
berencana memberi nama tawon tersebut "garuda", sesuai lambang
Indonesia. Ia mengatakan, tawon ini cenderung memilih untuk memakan
serangga lain. Namun, jika terancam, tawon ini juga bisa menyerang
manusia.
Tawon ini ditemukan di pegunungan Mekongga. Menurut Kim,
kawasan Mekongga dan Sulawesi pada umumnya memiliki keanekaragaman yang
besar. Ia mengatakan, selama tiga kali perjalanan ke Sulawesi, ratusan
spesies mungkin bisa dikatalogkan.
Kimsey mengatakan, di Sulawesi,
banyak ditemukan spesies langka dan belum pernah dilihat di belahan
dunia lain. Ia berharap penemuan spesies tawon ini bisa menggugah
kesadaran warga masyarakat terhadap perlunya melestarikan biodiversitas
di kawasan itu.
3. Anggrek Berbunga Mini Ditemukan di Kalimantan
Peneliti anggrek dari Kebun Raya Purwodadi Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia, Destario Metusala, kembali menemukan spesies baru anggrek.
Spesies yang ditemukan ini bernama
Dendrobium mucrovaginatum Metusala & J.J.Wood. Jenis ini dikoleksi oleh tim peneliti Kebun Raya Purwodadi di wilayah Kalimantan Barat pada tahun 2006.
"Salah
satu keunikan bunga ini adalah ukurannya yang mini. Diameternya hanya
kurang lebih 1 cm. Rata-rata anggrek berdiameter 5 cm, kalau yang besar
bisa sampai 10 cm," ungkap Destario.
Karakter unik lain adalah
ujung pelepah daunnya yang memiliki tonjolan sempit memanjang berujung
runcing. Sifat inilah yang membuat anggrek ini memiliki nama spesies "
mucrovaginatum".
"Yang
juga unik adalah karakter bibir bunganya yang memiliki 3 kalus sejajar
permukaannya. Sementara bagian ujung bunganya membelah membentuk dua
ruang," urai Destario saat dihubungi Kompas.com.
Bagian
pangkal kelopak samping dan bibir bunganya termodifikasi membentuk
tabung memanjang yang berisi cairan nektar. Diduga, modifikasi ini
memungkinkan serangga polinator yang menghisap cairan nektar sekaligus
memindahkan pollinia (benang sari) ke stigma (putik), membantu
reproduksi bunga.
D. mucrovaginatum mulai disadari
merupakan spesies baru setelah tim peneliti dari Kebun Raya Purwodadi
menumbuhkan spesimen dari spesies tersebut dan melihat karakteristik
bunganya.
Identifikasi dilakukan lebih lanjut dengan melihat
lebih detail karakter organ vegetatif dan generatif bunga. Selanjutnya,
hasil identifikasi dibandingkan dengan karakter bunga lain yang
berkerabat dekat.
Sosok
D. mucrovaginatum tumbuh
merumpun dan dapat mencapai tinggi 30 cm. Batang bagian atas memiliki
diameter 1 mm dan menggembung di bagian pangkal bawahnya sebagai tempat
penyimpan cadangan makanan.
Destario mengatakan, anggrek jenis
baru ini berpotensi menghasilkan anggrek hibrida yang berpotensi bisnis.
Ada dua karakteristik
D. mucrovaginatum yang dinilai bagus, yakni sifat bisa berbunga tanpa mengenal musim serta ukuran bunga yang mini.
"Kita
nanti bisa melakukan persilangan untuk mendapatkan anggrek hibrida yang
berukuran besar dan berwarna mencolok tetapi bisa berbunga sepanjang
tahun," ungkap Destario.
"Bunga yang mini juga menarik. Kita juga
bisa mengembangkan berbagai anggrek mini. Ini potensial. Tanaman ini
cuma sebesar rumput. Dengan keterbatasan lahan seperti di Jakarta
misalnya, kita bisa kembangkan anggrek yang cocok ditumbuhkan di
apartemen-apartemen," tambah peneliti yang aktif menekuni taksonomi
anggrek ini.
Hasil temuan Destario dipublikasikan di jurnal Malesian Orchid Journal Vol. 10 pada bulan Juli 2012, bersama spesies
Cleisocentron kinabaluense
yang juga ditemukan Destario sebelumnya. Kalimantan diketahui memiliki
1800 nama taksa anggrek. Hampir setiap tahunnya, spesies baru selalu
ditemukan di pulau itu.
4. Kelelawar Tanpa Ekor Ditemukan di Sulawesi
Pakar kelelawar dari Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia, Ibnu Maryanto, menemukan spesies baru kelelawar tanpa ekor di
Sulawesi yang dinamai
Thoopterus suhaniae."Kelelawar
ini berbeda karena memiliki rahang yang lebih besar, lengan lebih
panjang, dan ekornya tidak ada atau mengalami reduksi menjadi
rudiment. Punya ekor, tetapi tidak tampak," ungkap Ibnu saat dihubungi
Kompas.com.Ciri yang lain, bagian
uropatagium (area di antara dua kaki depan) sangat minim bulu. Selain itu, bukaan uretra atau saluran kecil pada penis tak terlalu tampak.
Ibnu mengatakan bahwa semula,
Thoopterus suhaniae diduga merupakan spesies
Thoopterus nigrescens.
Namun, karena ada ciri berbeda pada kelelawar itu, Ibnu dan rekan
melakukan penelitian lebih lanjut dan membuktikan bahwa fauna itu memang
spesies baru.
Untuk mengonfirmasi bahwa
Thoopterus suhaniae
merupakan spesies baru, Ibnu dan rekan melakukan analisis pada 102
spesimen yang diambil dari wilayah Sulawesi Tengah, Buton, Sula, Talaud,
dan Kepulauan Wowoni.
Ibnu menuturkan, spesies baru ini
merupakan persembahan bagi istri rekan kerjanya yang meninggal saat
melakukan penelitian di Taman Nasional Lore Lindu tahun 2000 silam.
"Nama
suhaniae diambil
dari nama istri teman penelitian saya, Mohammad Yani, yang meninggal
saat kami penelitian. Nama istrinya Suhaniah, meninggal pada 31 Maret
2000 lalu," ungkap Ibnu.
Thoopterus suhaniae merupakan
jenis kelelawar ukuran sedang yang memakan buah. Jenis kelelawar ini
terdistribusi di daratan 60-2.100 meter di atas permukaan laut.
Habitatnya bisa berupa hutan primer, sekunder, maupun kebun kopi. Meski
demikian, fauna ini lebih banyak terdapat di hutan primer dataran rendah
dan menengah.
Thoopterus suhaniae adalah spesies kedua dari genus
Thoopterus yang ditemukan di Sulawesi. Penemuan ini menunjukkan bahwa Sulawesi merupakan
hot spot evolusi
Pteropodidae.
Pteropodidae merupakan
golongan kelelawar yang memiliki mata besar, memakan buah atau bunga,
serta tersebar di Afrika, Asia Tenggara, dan Australia. Beberapa spesies
kelelawar golongan ini termasuk soliter, mendiami pohon atau gua.
Ibnu
menjelaskan, perusakan hutan primer dan perburuan kelelawar di utara
dan tengah Sulawesi mengancam populasi kelelawar spesies baru ini.
Karenanya, upaya konservasi diperlukan.
Hasil riset ini dipublikasikan di
Records of the Western Australian Museum bulan Juni 2012 lalu.
5. Empat Spesies Ikan Pelangi di Surga Papua

Kerjasama penelitian perikanan antara ilmuwan Indonesia dan Perancis
membuahkan hasil yang mengagumkan. Tim peneliti berhasil menemukan empat
spesies ikan pelangi baru dari Teluk Arguni, Kaimana, Papua Barat.
Renny
K Hadiaty, peneliti Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI) yang terlibat riset mengungkapkan, salah satu jenis
baru yang ditemukan ialah Melanotaenia arguni atau Rainbow Arguni.
Melanotaenia arguni
memiliki warna cokelat muda di bagian dorsal dan putih kelam di bagian
bawah tubuhnya. Sementara itu, warna abu-abu memencar indah dari bagian
pangkal hingga ujung siripnya.
Spesies lain yang juga ditemukan adalah
Melanotaenia urisa atau
Pelangi Urisa. Sisik pada bagian atas tubuh ikan ini berwarna cokelat
sementara sirip pektoralnya bening. Tubuh ikan ini juga dihiasi delapan
baringan strip cokelat.
Spesies tersebut berasal dari aliran dan
genangan dangkal air tawar. Volume genangannya dipengaruhi oleh
fluktuasi air Danau Sewiki, terletak 6 kilometer tenggara Kampung Urisa,
Arguni Bawah.
Jenis yang tak kalah indah adalah
Melanotaenia veoliae atau
Rainbow Veolia. Salah satu yang khas dari jenis ini adalah adanya
noktah merah muda di belakang mata. Ciri lain, sirip serta anal berwarna
merah darah disekat warna biru.
Melanotaenia veoliae ditemukan
di Sungai Gebiasi, sungai yang terletak 14 kilometer selatan Wanoma,
Arguni Bawah. Sungai Gebiasi bersumber dari air karst, pertama mengalir
60 meter, lalu ke bawah tanah dan muncul lagi 200 meter di tubir batu
dekat kawasan mangrove setempat.
Jenis terakhir yang ditemukan adalah
Melanotaenia wanoma
atau Pelangi Wanoma. Jenis ini ditemukan di Sungai Wermura, 16 km
selatan wanoma, Arguni Bawah. Bagian atas tubuhnya berwarna kecokelatan,
tutup insang berwarna emas, sirip dorsal dan anal serta kuncup sirip
berwarna kemerahan.
Habitat Pelangi Wanoma dialiri air kristalin
dari barisan pegunungan karst Kaimana. Sungai ini pertama mengalir
sejauh 200 meter sebelum menghilang di batuan karst lalu muncul kembali 1
kilometer di kawasan mangrove setempat.
Keempat spesies yang ditemukan kali ini merupakan hasil ekspedisi penelitian
Lengguru-Kaimana
yang dilakukan pada tahun 2010. Dalam ekspedisi ini, terlibat pula
Laurent Pouyaud, peneliti dari Institut de Recherche pour le
Dèveloppement (IRD) Perancis.
Selama ekspedisi, tim menggunakan
kapal riset Airaha 2 milik Akademi Perikanan Sorong, sedangkan untuk
mencapai sumber air tawar, tim menggunakan perahu karet kemudian
dilanjutkan dengan berjalan kaki. Tak jarang, tim harus menginap di
jalan selama berhari-hari.
Program riset karst di wilayah
Lengguru sendiri mengkaji keanekargaman hayati dan relasinya dengan
historis evolutif Lengguru. Pendekatan DNA Barcoding digunakan dalam
penelitian ini.
Wilayah Lengguru yang terletak antara Kepala
Burung Papua dan daratan Niugini penting karena menjadi titik kunci
penyebaran grup Melanotaenia. Lengguru muncul ke permukaan 10-11 juta
tahun silam diikuti munculnya pegunungan tengah Niugini termasuk
pegunungan Jayawijaya sekitar 8 juta tahun lalu.
Selama ini,
keanekaragaman jenis ikan di wilayah Lengguru belum banyak terdata.
Dengan temuan baru ini, jenis ikan pelangi yang terdata menjadi 23
jenis, yang terbagi dalam dua genus yaitu Melanotaenia dan Pelangia.
TerancamKadarusman,
peneliti dan dosen Akademi Perikanan Sorong, Papua Barat yang juga
terlibat penelitian menuturkan bahwa spesies ikan baru yang ditemukan
menghadapi tantangan lingkungan yang besar.
"Berdasarkan
deskripsi habitat dari keempat spesies baru tersebut, dapat dikatakan
bahwa jenis-jenis menawan di atas sedang terancam, mengingat habitatnya
sangat terbatas," urainya dalam surat elektronik kepada
Kompas.com, Minggu (22/7/2012).
Jenis
Melanotaenia arguni
misalnya, menghadapi tantangan karena habitatnya yang mengalami
pendangkalan hebat. Hampir semua likukan di Sungai Jasu tempat ikan ini
hidup dipenuhi deltas pasir.
Kadarusman pun mengatakan,
Melanotaenia arguni
juga sangat rentan stres. Saat penelitian, ia menemukan bahwa tubuh
ikan ini dipenuhi benjolan putih, kondisi ini mungkin disebabkan oleh
kualitas air di habitatnya yang dikelilingi tanaman perkebunan.
Kelangsungan
hidup spesies yang baru saja ditemukan ini tergantung pada ketersediaan
sumber air dari kawasan karst. Kelangsungan jenis
Melanotaenia urisa misalnya, sangat dipengaruhi ketersediaan air bongkahan batu dari pegunungan karst Berari.
Untuk
menjaga kelangsungan spesies ini, Kadarusman mengungkapkan perlunya
upaya konservasi oleh semua pihak. Sumber daya air di kawasan karst
sangat dipengaruhi iklim dan penebangan hutan. Perusakan hutan akan
mengganggu kelangsungan ekosistem karst.
Upaya menjaga
kelangsungan jenis ikan pelangi bukan tanpa tujuan. Salah satu yang bisa
dibayangkan, kelangsungan jenis ikan pelangi akan memberi kesempatan
bagi masyarakat setempat untuk menekuni budidaya ikan pelangi sebagai
ikan hias.
Gigih Setiawibawa, peneliti Balai Penelitian dan
Pengembangan Ikan Hias telah berhasil mendomestikasi puluhan jenis ikan
pelangi Papua yang didapatkan sejak ekspedisi tahun 2007 silam. Lebih
dari separuh koleksi sudah bisa disebarkan ke masyarakat pembudidaya.
Budidaya ikan pelangi telah dilakukan masyarakat. Namun, masyarakat sebelumnya hanya mengenal jenis
M. boesemani asal Danau Ayamaru, Papua Barat dan
Glossolepis incisus, asal Sentani, Papua. Penemuan dan pelestarian jenis ikan pelangi akan meningkatkan variasi jenis ikan budidaya.
6. Monyet Punah Ditemukan Lagi di Indonesia

Ilmuwan yang meneliti hutan hujan tropis di Indonesia menemukan kembali
spesies monyet besar dan berwarna abu-abu yang diduga telah punah.
Mereka menemukan kembali langur abu-abu (Presbytis hosei canicrus) yang memiliki wajah hitam dengan bulu-bulu halus di bagian leher yang berwarna abu-abu.
Penemuan
itu tak disengaja. Tim sebenarnya sedang memasang kamera jebakan untuk
menangkap gambar orangutan, leopard, dan lainnya di hutan Wehea, bagian
timur Kalimantan, Juni 2011. Tak disangka, grup monyet yang tak pernah
dijumpai sebelumnya muncul.
Penemuan itu menantang tim ilmuwan
yang dikepalai oleh Brent Loken dari Simon Fraser University di Kanada.
Mereka tak punya foto langur abu-abu. Satu-satunya yang
dimiliki adalah sketsa dari museum. "Kami gembira luar biasa mengetahui
fakta bahwa ternyata monyet jenis ini masih ada, juga bahwa ini didapati
di Wehea," kata Loken seperti dikutip AP, Jumat (20/1/2012).
Langur yang memiliki ciri mata agak tertutup dan hidung serta bibir yang berwarna sedikit pink ini dipercaya tersebar di Kalimantan, Jawa, Sumatera, dan Thailand. Namun, sebelumnya dinyatakan bahwa jenis ini sudah punah.
Aktivitas
pembakaran hutan, konversi lahan, dan pertambangan diduga menjadi sebab
jenis ini makin sulit ditemukan. "Bagi saya, penemuan monyet ini adalah
representasi betapa banyaknya spesies yang ada di Indonesia," ucap
Loken.
"Ada banyak satwa yang ciri khas dan sebarannya sangat
sedikit kita ketahui menghilang begitu cepat. Rasanya, banyak jenis
satwa ini akan punah dengan cepat," tambah Loken.
Sebagai langkah lanjut dari penemuan ini, ilmuwan akan meneliti lebih jauh jumlah langur
abu-abu yang ada di wilayah seluas 38.000 hektar. Sejumlah ilmuwan
internasional dan dari Indonesia akan terlibat. "Kita akan coba sebisa
mungkin. Namun, ini seperti berpacu melawan waktu," kata Loken.
Pakar
primata yang tak tergabung dalam studi ini, Erick Meijaard, menyatakan
dukungan terhadap upaya para ilmuwan. "Ini adalah spesies yang penuh
teka-teki," katanya.
Meijaard mengungkapkan, langur abu-abu dipercaya merupakan subspesies dari monyet daun Indonesia (Presbytis hosei) yang juga terdapat di wilayah Malaysia di Borneo. Namun, ada dugaan bahwa langur abu-abu adalah spesies yang berbeda.
"Kami
berpikir bahwa mungkin ini spesies yang berbeda. Ini menjadikan
penemuan di Kalimantan ini jauh lebih penting," kata Meijaard.
7. Spesies Bambu Baru dari Mekongga
Spesies bambu baru ditemukan di Pegunungan Mekongga lewat ekspedisi
yang dilakukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) beberapa waktu
lalu.
Bambu tersebut ditemukan oleh Elizabeth A Widjaja, taksonom bambu dari Pusat Penelitian Biologi LIPI.
"Bambunya
kecil sekali, tidak punya bulu, tapi punya lapisan lilin. Daunnya juga
kecil, hanya 2 cm. Diameter bambunya juga cuma sekitar 2 cm. Bambunya
tumbuh merayap," jelas Elizabeth.
Sampai saat ini, bambu spesies baru tersebut belum dinamai. Dalam waktu dekat, nama akan diberikan dan dipublikasikan.
Menurut
Elizabeth, spesies bambu baru tersebut hanya salah satu wujud kekayaan
bambu Indonesia. Spesies bambu endemik di Tanah Air saja saat ini
diketahui sebanyak 160 jenis.
"Banyak spesies bambu belum
terungkap. Di tangan saya saja masih ada 20 spesies dan saya yakin
bertambah kalau saya jalan lagi," katanya saat ditemui dalam diskusi
"Bambu Punya Cerita" yang digelar Yayasan KEHATI di Bumi Perkemahan
Ragunan, Jakarta, Minggu (25/3/2012).
Spesies bambu yang masih dalam proses identifikasi di antaranya berasal dari wilayah Sulawesi dan Alor.
Sumber : sains.kompas.com