SEJARAH BALI
Masa
Prasejarah
Zaman prasejarah Bali merupakan awal dari sejarah
masyarakat Bali, yang ditandai oleh kehidupan masyarakat pada masa itu yang
belum mengenal tulisan. Walaupun pada zaman prasejarah ini belum dikenal
tulisan untuk menuliskan riwayat kehidupannya, tetapi berbagai bukti tentang
kehidupan pada masyarakat pada masa itu dapat pula menuturkan kembali keadaanya
Zaman prasejarah berlangsung dalam kurun waktu yang cukup panjang, maka
bukti-bukti yang telah ditemukan hingga sekarang sudah tentu tidak dapat
memenuhi segala harapan kita.
Berkat penelitian yang tekun dan terampil dari para ahli
asing khususnya bangsa Belanda dan putra-putra Indonesia maka
perkembangan masa prasejarah di Bali semakin terang. Perhatian terhadap
kekunaan di Bali pertama-tama diberikan oleh seorang naturalis bernama Georg Eberhard Rumpf, pada
tahun 1705 yang dimuat dalam
bukunya Amboinsche Reteitkamer. Sebagai pionir dalam penelitian
kepurbakalaan di Bali adalah W.O.J. Nieuwenkamp yang
mengunjungi Bali pada tahun 1906
sebagai seorang pelukis. Dia mengadakan perjalanan menjelajahi Bali. Dan
memberikan beberapa catatan antara lain tentang nekara Pejeng, Trunyan, dan Pura
Bukit Penulisan. Perhatian terhadap nekara Pejeng
ini dilanjutkan oleh K.C Crucq tahun 1932 yang
berhasil menemukan tiga bagian cetakan nekara Pejeng di Pura Desa Manuaba, Tegallalang.
Penelitian prasejarah di Bali dilanjutkan oleh Dr. H.A.R.
van Heekeren dengan hasil tulisan yang berjudul Sarcopagus on Bali
tahun 1954. Pada tahun 1963 ahli prasejarah putra
Indonesia Drs. R.P. Soejono melakukan penggalian ini dilaksanakan secara
berkelanjutan yaitu tahun 1973, 1974, 1984, 1985. Berdasarkan
hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap benda-benda temuan yang
berasal dari tepi pantai Teluk
Gilimanuk diduga bahwa lokasi Situs Gilimanuk
merupakan sebuah perkampungan nelayan dari zaman
perundagian di Bali. Di tempat ini sekarang berdiri sebuah museum.
Berdasarkan bukti-bukti yang telah ditemukan hingga
sekarang di Bali, kehidupan masyarakat ataupun penduduk Bali pada zaman
prasejarah Bali dapat dibagi menjadi :
- Masa
berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana
- Masa
berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut
- Masa
bercocok tanam
- Masa
perundagian
Masa berburu dan
mengumpulkan makanan tingkat sederhana
Sisa-sisa dari kebudayaan paling awal diketahui dengan
penelitian-penelitian yang dilakukan sejak tahun 1960 dengan ditemukan di
Sambiran (Buleleng bagian timur), serta di tepi timur dan tenggara Danau Batur (Kintamani) alat-alat
batu yang digolongkan kapak genggam, kapak berimbas, serut dan
sebagainya. Alat-alat batu yang dijumpai di kedua daerah tersebut kini disimpan
di Museum Gedong Arca di Bedulu, Gianyar.
Kehidupan penduduk pada masa ini adalah sederhana sekali,
sepenuhnya tergantung pada alam lingkungannya. Mereka hidup mengembara dari
satu tempat ketempat lainnya (nomaden). Daerah-daerah yang dipilihnya ialah
daerah yang mengandung persediaan makanan dan air yang cukup untuk menjamin
kelangsungan hidupnya. Hidup berburu dilakukan oleh kelompok kecil dan hasilnya
dibagi bersama. Tugas berburu dilakukan oleh kaum laki-laki, karena pekerjaan
ini memerlukan tenaga yang cukup besar untuk menghadapi segala bahaya yang
mungkin terjadi. Perempuan hanya bertugas untuk menyelesaikan pekerjaan yang
ringan misalnya mengumpulkan makanan dari alam sekitarnya. Hingga saat ini belum
ditemukan bukti-bukti apakah manusia pada masa itu telah mengenal bahasa
sebagai alat bertutur satu sama lainnya.
Walaupun bukti-bukti yang terdapat di Bali kurang
lengkap, tetapi bukti-bukti yang ditemukan di Pacitan (Jawa Timur) dapatlah kiranya
dijadikan pedoman. Para ahli memperkirakan bahwa alat-alat batu dari Pacitan
yang sezaman dan mempunyai banyak persamaan dengan alat-alat batu dari
Sembiran, dihasilkan oleh jenis manusia. Pithecanthropus erectus atau
keturunannya. Kalau demikian mungkin juga alat-alat baru dari Sambiran
dihasilkan oleh manusia jenis Pithecanthropus atau keturunannya.
Masa berburu dan
mengumpulkan makanan tingkat lanjut
Pada masa ini corak hidup yang berasal dari masa
sebelumnya masih berpengaruh. Hidup berburu dan mengumpulkan makanan yang
terdapat dialam sekitar dilanjutkan terbukti dari bentuk alatnya yang dibuat
dari batu, tulang dan kulit kerang. Bukti-bukti mengenai kehidupan manusia pada
masa mesolithik berhasil ditemukan pada tahun 1961 di Gua Selonding, Pecatu (Badung). Gua ini terletak di
pegunungan gamping di Semenanjung
Benoa. Di daerah ini terdapat goa yang lebih besar ialah Gua
Karang Boma, tetapi goa ini tidak memberikan suatu bukti tentang kehidupan yang
pernah berlangsung disana. Dalam penggalian Gua Selonding ditemukan alat-alat
terdiri dari alat serpih dan serut dari batu dan sejumlah alat-alat dari tulang. Di antara alat-alat
tulang terdapat beberapa lencipan muduk yaitu sebuah alat sepanjang 5 cm yang
kedua ujungnya diruncingkan.
Alat-alat semacam ini ditemukan pula di sejumlah gua Sulawesi Selatan pada
tingkat perkembangan kebudayaan Toala dan terkenal pula di Australia
Timur. Di luar Bali ditemukan lukisan dinding-dinding gua,
yang menggambarkan kehidupan sosial ekonomi dan kepercayaan masyarakat pada
waktu itu. Lukisan-lukisan di dinding goa atau di dinding-dinding karang itu
antara lain yang berupa cap-cap tangan, babi
rusa, burung,
manusia, perahu, lambang matahari,
lukisan mata dan sebagainya. Beberapa lukisan lainnya ternyata lebih berkembang
pada tradisi yang lebih kemudian dan artinya menjadi lebih terang juga di
antaranya adalah lukisan kadal
seperti yang terdapat di Pulau Seram dan Papua, mungkin mengandung
arti kekuatan magis yang dianggap sebagai penjelmaan roh nenek moyang atau kepala suku.
Masa bercocok tanam
Masa bercocok tanam lahir melalui proses yang panjang dan
tak mungkin dipisahkan dari usaha manusia prasejarah dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya pada masa-masa sebelumnya. Masa neolithik amat penting dalam sejarah
perkembangan masyarakat dan peradaban, karena pada masa ini beberapa penemuan
baru berupa penguasaan sumber-sumber alam bertambah cepat. Penghidupan
mengumpulkan makanan (food gathering) berubah menjadi menghasilkan
makanan (food producing). Perubahan ini sesungguhnya sangat besar
artinya mengingat akibatnya yang sangat mendalam serta meluas kedalam
perekonomian dan kebudayaan.
Sisa-sisa kehidupan dari masa bercocok tanam di Bali
antara lain berupa kapak
batu persegi dalam berbagai ukuran, belincung dan panarah batang
pohon. Dari teori Kern dan teori Von Heine-Geldern diketahui bahwa nenek moyang
bangsa Austronesia, yang mulai datang di
kepulauan kita kira-kira 2000 tahun S.M ialah pada zaman
neolithik. Kebudayaan ini mempunyai dua cabang ialah cabang kapak
persegi yang penyebarannya dari dataran Asia melalui jalan barat dan
peninggalannya terutama terdapat di bagian barat Indonesia dan kapak lonjong yang
penyebarannya melalui jalan timur dan peninggalan-peninggalannya merata
dibagian timur negara kita. Pendukung kebudayaan neolithik (kapak persegi)
adalah bangsa Austronesia dan gelombang perpindahan pertama tadi disusul dengan
perpindahan pada gelombang kedua yang terjadi pada masa perunggu kira-kira 500
S.M. Perpindahan bangsa Austronesia ke Asia Tenggara khususnya dengan
memakai jenis perahu cadik yang terkenal pada masa ini. Pada masa ini diduga
telah tumbuh perdagangan dengan jalan tukar menukar barang (barter) yang diperlukan. Dalam
hal ini sebagai alat berhubungan diperlukan adanya bahasa. Para ahli
berpendapat bahwa bahasa Indonesia pada masa ini adalah Melayu Polinesia atau
dikenal dengan sebagai bahasa Austronesia.
Masa perundagian
Gong, yang ditemukan pula di berbagai tempat di Nusantara, merupakan alat musik
yang diperkirakan berakar dari masa perundagian.
Dalam masa neolithik manusia bertempat tinggal tetap
dalam kelompok-kelompok serta mengatur kehidupannya menurut kebutuhan yang
dipusatkan kepada menghasilkan bahan makanan sendiri (pertanian dan
peternakan). Dalam masa bertempat tinggal tetap ini, manusia berdaya upaya
meningkatkan kegiatan-kegiatannya guna mencapai hasil yang sebesar-besarnya
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Pada zaman ini jenis manusia yang mendiami Indonesia
dapat diketahui dari berbagai penemuan sisa-sisa rangka dari berbagai tempat,
yang terpenting di antaranya adalah temuan-temuan dari Anyer Lor (Banten), Puger (Jawa Timur), Gilimanuk
(Bali) dan Melolo (Sumbawa). Dari
temuan kerangka yang banyak jumlahnya menunjukkan ciri-ciri manusia. Sedangkan
penemuan di Gilimanuk dengan jumlah kerangka yang ditemukan 100 buah
menunjukkan ciri Mongoloid yang kuat seperti terlihat pada gigi dan muka. Pada
rangka manusia Gilimanuk terlihat penyakit gigi dan encok yang banyak menyerang
manusia ketika itu.
Berdasarkan bukti-bukti yang telah ditemukan dapat
diketahui bahwa dalam masyarakat Bali pada masa perundagian telah berkembang
tradisi penguburan dengan cara-cara tertentu. Adapun cara penguburan yang
pertama ialah dengan mempergunakan peti mayat atau sarkofagus yang dibuat dari
batu padas yang lunak atau yang keras. Cara penguburannya ialah dengan
mempergunakan tempayan yang dibuat dari tanah liat seperti ditemukan di tepi
pantai Gilimanuk (Jembrana).
Benda-benda temuan ditempat ini ternyata cukup menarik perhatian di antaranya
terdapat hampir 100 buah kerangka manusia dewasa dan anak-anak, dalam keadaan
lengkap dan tidak lengkap. Tradisi penguburan dengan tempayan ditemukan juga di
Anyar (Banten), Sabbang
(Sulawesi Selatan), Selayar, Rote dan Melolo (Sumba). Di luar Indonesia
tradisi ini berkembang di Filipina, Thailand, Jepang dan Korea.
Kebudayaan megalithik ialah kebudayaan yang terutama
menghasilkan bangunan-bangunan dari batu-batu besar. Batu-batu ini mempunyai
biasanya tidak dikerjakan secara halus, hanya diratakan secara kasar saja untuk
mendapat bentuk yang diperlukan. di daerah Bali tradisi megalithik masih tampak
hidup dan berfungsi di dalam kehidupan masyarakat dewasa ini. Adapun temuan
yang penting ialah berupa batu berdiri (menhir) yang
terdapat di Pura Ratu Gede Pancering Jagat di Trunyan. Di pura in terdapat
sebuah arca yang disebut arca Da Tonta yang memiliki ciri-ciri yang berasal
dari masa tradisi megalithik. Arca ini tingginya hampir 4 meter. Temuan lainnya
ialah di Sembiran (Buleleng),
yang terkenal sebagai desa Bali kuna, disamping desa-desa Trunyan dan Tenganan.
Tradisi megalithik di desa Sembiran dapat dilihat pada pura-pura yang dipuja
penduduk setempat hingga dewasa ini. dari 20 buah pura ternyata 17 buah pura
menunjukkan bentuk-bentuk megalithik dan pada umumnya dibuat sederhana sekali.
Di antaranya ada berbentuk teras berundak, batu berdiri dalam palinggih dan ada
pula yang hanya merupakan susunan batu kali.
Temuan lainnya yang penting juga ialah berupa
bangunan-bangunan megalithik yang terdapat di Gelgel (Klungkung).Temuan
yang penting di desa Gelgel ialah sebuah arca menhir yaitu terdapat di Pura
Panataran Jro Agung. Arca menhir ini dibuat dari batu dengan penonjolan kelamin
wanita yang mengandung nilai-nilai keagamaan yang penting yaitu sebagai lambang
kesuburan yang dapat memberi kehidupan kepada masyarakat.
Masuknya Agama Hindu
Gua Gajah (sekitar abad XI), salah satu peninggalan masa
awal periode Hindu di Bali.
Berakhirnya zaman prasejarah di Indonesia ditandai dengan
datangnya bangsa dan pengaruh Hindu. Pada
abad-abad pertama Masehi sampai dengan lebih kurang tahun 1500, yakni dengan
lenyapnya kerajaan Majapahit
merupakan masa-masa pengaruh Hindu. Dengan adanya pengaruh-pengaruh dari India
itu berakhirlah zaman prasejarah Indonesia karena didapatkannya keterangan
tertulis yang memasukkan bangsa Indonesia ke dalam zaman sejarah. Berdasarkan
keterangan-keterangan yang ditemukan pada prasasti abad ke-8 Masehi dapatlah
dikatakan bahwa periode sejarah Bali Kuno meliputi kurun waktu antara abad ke-8
Masehi sampai dengan abad ke-14 Masehi dengan datangnya ekspedisi Mahapatih Gajah Mada dari Majapahit yang
dapat mengalahkan Bali. Nama Balidwipa tidaklah merupakan nama baru, namun telah
ada sejak zaman dahulu. Hal ini dapat diketahui dari beberapa prasasti, di
antaranya dari Prasasti Blanjong yang
dikeluarkan oleh Sri Kesari Warmadewa pada
tahun 913 Masehi yang menyebutkan
kata "Walidwipa". Demikian pula dari prasasti-prasasti Raja Jayapangus,
seperti prasasti Buwahan D dan prasasti Cempaga A yang berangka tahun 1181
Masehi.
Di antara raja-raja Bali, yang banyak meninggalkan
keterangan tertulis yang juga menyinggung gambaran tentang susunan pemerintahan
pada masa itu adalah Udayana,
Jayapangus , Jayasakti, dan Anak Wungsu.
Dalam mengendalikan pemerintahan, raja dibantu oleh suatu Badan Penasihat
Pusat. Dalam prasasti tertua 882-914, badan
ini disebut dengan istilah "panglapuan". Sejak zaman Udayana, Badan
Penasihat Pusat disebut dengan istilah "pakiran-kiran i jro
makabaihan". Badan ini beranggotakan beberapa orang senapati dan pendeta
Siwa dan Budha.
Di dalam prasasti-prasasti sebelum Raja Anak Wungsu
disebut-sebut beberapa jenis seni yang ada pada waktu itu. Akan tetapi, baru
pada zaman Raja Anak Wungsu, kita dapat membedakan jenis seni menjadi dua
kelompok yang besar, yaitu seni keraton dan seni rakyat. Tentu saja istilah
seni keraton ini tidak berarti bahwa seni itu tertutup sama sekali bagi rakyat.
Kadang-kadang seni ini dipertunjukkan kepada masyarakat di desa-desa atau
dengan kata lain seni keraton ini bukanlah monopoli raja-raja.
Dalam bidang agama, pengaruh zaman prasejarah, terutama
dari zaman megalitikum masih terasa kuat. Kepercayaan pada zaman itu
dititikberatkan kepada pemujaan roh nenek moyang yang disimboliskan dalam wujud
bangunan pemujaan yang disebut teras piramid atau bangunan berundak-undak.
Kadang-kadang di atas bangunan ditempatkan menhir, yaitu tiang batu monolit
sebagai simbol roh nenek moyang mereka. Pada zaman Hindu hal ini terlihat pada
bangunan pura yang mirip dengan pundan berundak-undak. Kepercayaan pada
dewa-dewa gunung, laut, dan lainnya yang berasal dari zaman sebelum masuknya
Hindu tetap tercermin dalam kehidupan masyarakat pada zaman setelah masuknya agama Hindu. Pada masa permulaan
hingga masa pemerintahan Raja Sri
Wijaya Mahadewi tidak diketahui dengan pasti agama
yang dianut pada masa itu. Hanya dapat diketahui dari nama-nama biksu yang memakai unsur nama
Siwa, sebagai contoh biksu Piwakangsita Siwa, biksu Siwanirmala, dan biksu Siwaprajna.
Berdasarkan hal ini, kemungkinan agama yang berkembang pada saat itu adalah
agama Siwa. Baru pada masa pemerintahan Raja Udayana dan permaisurinya, ada dua
aliran agama besar yang dipeluk oleh penduduk, yaitu agama Siwa dan agama
Budha. Keterangan ini diperoleh dari prasasti-prasastinya yang menyebutkan
adanya mpungku Sewasogata (Siwa-Buddha) sebagai pembantu raja.
Masa 1343-1846
Ekspedisi Gajah Mada ke Bali dilakukan pada saat Bali
diperintah oleh Kerajaan Bedahulu
dengan Raja
Astasura Ratna Bumi Banten dan Patih Kebo Iwa. Dengan terlebih dahulu
membunuh Kebo Iwa, Gajah Mada memimpin ekspedisi bersama Panglima Arya Damar dengan dibantu oleh
beberapa orang arya.
Penyerangan ini mengakibatkan terjadinya pertempuran antara pasukan Gajah Mada
dengan Kerajaan Bedahulu. Pertempuran ini mengakibatkan raja Bedahulu dan
putranya wafat. Setelah Pasung Grigis menyerah, terjadi
kekosongan pemerintahan di Bali. Untuk itu, Majapahit menunjuk Sri
Kresna Kepakisan untuk memimpin pemerintahan di Bali
dengan pertimbangan bahwa Sri Kresna Kepakisan memiliki hubungan darah dengan
penduduk Bali Aga. Dari sinilah berawal wangsa
Kepakisan.
Periode Gelgel
Karena ketidakcakapan Raden Agra Samprangan menjadi raja,
Raden Samprangan digantikan oleh Dalem
Ketut Ngulesir. Oleh Dalem Ketut Ngulesir, pusat pemerintahan
dipindahkan ke Gelgel (dibaca /gɛl'gɛl/). Pada saat inilah dimulai Periode
Gelgel dan Raja Dalem Ketut Ngulesir merupakan raja pertama. Raja yang kedua
adalah Dalem
Watu Renggong (1460—1550). Dalem Watu Renggong menaiki singgasana
dengan warisan kerajaan yang stabil sehingga ia dapat mengembangkan kecakapan
dan kewibawaannya untuk memakmurkan Kerajaan Gelgel. Di bawah pemerintahan Watu
Renggong, Bali (Gelgel) mencapai puncak kejayaannya. Setelah Dalem Watu
Renggong wafat ia digantikan oleh Dalem Bekung (1550—1580), sedangkan
raja terakhir dari zaman Gelgel adalah Dalem Di Made (1605—1686).
Zaman Kerajaan Klungkung
Kerajaan
Klungkung sebenarnya merupakan kelanjutan dari Dinasti Gelgel. Pemberontakan I
Gusti Agung Maruti ternyata telah mengakhiri Periode
Gelgel. Hal itu terjadi karena setelah putra Dalem Di Made dewasa dan dapat
mengalahkan I Gusti Agung Maruti, istana Gelgel tidak dipulihkan kembali. Gusti
Agung Jambe sebagai putra yang berhak atas takhta kerajaan, ternyata tidak mau
bertakhta di Gelgel, tetapi memilih tempat baru sebagai pusat pemerintahan,
yaitu bekas tempat persembunyiannya di Semarapura.
Dengan demikian, Dewa
Agung Jambe (1710-1775) merupakan raja pertama
zaman Klungkung. Raja kedua adalah Dewa
Agung Di Made I, sedangkan raja Klungkung yang
terakhir adalah Dewa
Agung Di Made II. Pada zaman Klungkung ini wilayah
kerajaan terbelah menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Kerajaan-kerajaan kecil ini
selanjutnya menjadi swapraja
(berjumlah delapan buah) yang pada zaman kemerdekaan dikenal sebagai kabupaten.
Kerajaan-kerajaan
pecahan Klungkung
- Kerajaan
Badung, yang
kemudian menjadi Kabupaten Badung.
- Kerajaan
Mengwi, yang
kemudian menjadi Kecamatan
Mengwi.
- Kerajaan
Bangli, yang
kemudian menjadi Kabupaten Bangli.
- Kerajaan Buleleng, yang kemudian menjadi Kabupaten Buleleng.
- Kerajaan
Gianyar, yang
kemudian menjadi Kabupaten Gianyar.
- Kerajaan
Karangasem, yang kemudian menjadi Kabupaten
Karangasem.
- Kerajaan
Klungkung, yang
kemudian menjadi Kabupaten Klungkung.
- Kerajaan
Tabanan, yang
kemudian menjadi Kabupaten Tabanan.
- Kerajaan
Denpasar,yang
kemudian menjadi Kota
Madya Denpasar
Masa 1846-1949
Pada periode ini mulai masuk intervensi Belanda ke Bali
dalam rangka "pasifikasi" terhadap seluruh wilayah Kepulauan Nusantara. Dalam proses yang
secara tidak disengaja membangkitkan sentimen nasionalisme Indonesia ini,
wilayah-wilayah yang belum ditangani oleh administrasi Batavia dicoba untuk
dikuasai dan disatukan di bawah administrasi. Belanda masuk ke Bali disebabkan
beberapa hal: beberapa aturan kerajaan di Bali yang dianggap mengganggu
kepentingan dagang Belanda, penolakan Bali untuk menerima monopoli yang
ditawarkan Batavia, dan permintaan bantuan dari warga Pulau Lombok yang merasa
diperlakukan tidak adil oleh penguasanya (dari Bali).
Perlawanan Terhadap
Orang-Orang Belanda
Masa ini merupakan masa perlawanan terhadap kedatangan
bangsa Belanda di Bali. Perlawanan-perlawanan ini ditandai dengan meletusnya
berbagai perang di wilayah Bali. Perlawanan-perlawanan tersebut dapat diuraikan
sebagai berikut :
- Perang
Buleleng (1846)
- Perang
Jagaraga (1848--1849)
- Perang
Kusamba (1849)
- Perang
Banjar (1868)
- Puputan
Badung (1906)
- Puputan
Klungkung (1908)
Dengan kemenangan Belanda dalam seluruh perang dan
jatuhnya kerajaan Klungkung ke tangan Belanda, berarti secara keseluruhan Bali
telah jatuh ke tangan Belanda.
Zaman Penjajahan Belanda
Sejak kerajaan Buleleng jatuh ke tangan Belanda mulailah
pemerintah Belanda ikut campur mengurus soal pemerintahan di Bali. Hal ini
dilaksanakan dengan mengubah nama raja sebagai penguasa daerah dengan nama
regent untuk daerah Buleleng dan Jembrana serta menempatkan P.L. Van Bloemen
Waanders sebagai controleur yang pertama di Bali.
Struktur pemerintahan di Bali masih berakar pada struktur
pemerintahan tradisional, yaitu tetap mengaktifkan kepemimpinan tradisional
dalam melaksanakan pemerintahan di daerah-daerah. Untuk di daerah Bali,
kedudukan raja merupakan pemegang kekuasaan tertinggi, yang pada waktu
pemerintahan kolonial didampingi oleh seorang controleur. Di dalam bidang
pertanggungjawaban, raja langsung bertanggung jawab kepada Residen Bali dan
Lombok yang berkedudukan di Singaraja, sedangkan untuk Bali Selatan,
raja-rajanya betanggung jawab kepada Asisten Residen yang berkedudukan di Denpasar.
Untuk memenuhi kebutuhan tenaga administrasi, pemerintah
Belanda telah membuka sebuah sekolah rendah yang pertama di Bali, yakni di Singaraja (1875) yang dikenal
dengan nama Tweede Klasse School. Pada tahun 1913 dibuka sebuah sekolah dengan
nama Erste Inlandsche School dan kemudian disusul dengan sebuah sekolah Belanda
dengan nama Hollands Inlandshe School (HIS) yang muridnya kebanyakan berasal
dari anak-anak bangsawan dan golongan kaya.
Lahirnya Organisasi
Pergerakan
Akibat pengaruh pendidikan yang didapat, para pemuda
pelajar dan beberapa orang yang telah mendapatkan pekerjaan di kota Singaraja
berinisiatif untuk mendirikan sebuah perkumpulan dengan nama "Suita Gama
Tirta" yang bertujuan untuk memajukan masyarakat Bali dalam dunia ilmu
pengetahuan melalui ajaran agama. Sayang perkumpulan ini tidak burumur panjang.
Kemudian beberapa guru yang masih haus dengan pendidikan agama mendirikan
sebuah perkumpulan yang diberi nama "Shanti" pada tahun 1923.
Perkumpulan ini memiliki sebuah majalah yang bernama "Shanti Adnyana"
yang kemudian berubah menjadi "Bali Adnyana".
Pada tahun 1925 di
Singaraja juga didirikan sebuah perkumpulan yang diberi nama
"Suryakanta" dan memiliki sebuah majalah yang diberi nama
"Suryakanta". Seperti perkumpulan Shanti, Suryakanta menginginkan
agar masyarakat Bali mengalami kemajuan dalam bidang pengetahuan dan
menghapuskan adat istiadat yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman.
Sementara itu, di Karangasem lahir suatu perhimpunan yang bernama "Satya
Samudaya Baudanda Bali Lombok" yang anggotanya terdiri atas pegawai negeri
dan masyarakat umum dengan tujuan menyimpan dan mengumpulkan uang untuk
kepentingan studiefonds.
Zaman Pendudukan Jepang
Setelah melalui beberapa pertempuran, tentara Jepang mendarat di Pantai
Sanur pada tanggal 18 dan 19 Februari 1942. Dari arah Sanur ini
tentara Jepang memasuki kota Denpasar
dengan tidak mengalami perlawanan apa-apa. Kemudian, dari Denpasar inilah
Jepang menguasai seluruh Bali. Mula-mula yang meletakkan dasar kekuasaan Jepang
di Bali adalah pasukan Angkatan Darat Jepang (Rikugun). Kemudian, ketika
suasana sudah stabil penguasaan pemerintahan diserahkan kepada pemerintahan
sipil.
Karena selama pendudukan Jepang suasana berada dalam
keadaan perang, seluruh kegiatan diarahkan pada kebutuhan perang. Para pemuda
dididik untuk menjadi tentara Pembela Tanah Air
(PETA). Untuk daerah Bali, PETA dibentuk pada bulan Januari tahun 1944 yang
program dan syarat-syarat pendidikannya disesuaikan dengan PETA di Jawa.
Zaman Kemerdekaan
Menyusul Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia, pada tanggal 23 Agustus 1945, Mr. I Gusti Ketut Puja
tiba di Bali dengan membawa mandat pengangkatannya sebagai Gubernur Sunda
Kecil. Sejak kedatangan beliau inilah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Bali
mulai disebarluaskan sampai ke desa-desa. Pada saat itulah mulai diadakan
persiapan-persiapan untuk mewujudkan susunan pemerintahan di Bali sebagai
daerah Sunda Kecil dengan ibu kotanya
Singaraja.
Sejak pendaratan NICA di
Bali, Bali selalu menjadi arena pertempuran. Dalam pertempuran itu pasukan RI
menggunakan sistem gerilya. Oleh
karena itu, MBO sebagai induk pasukan
selalu berpindah-pindah. Untuk memperkuat pertahanan di Bali, didatangkan
bantuan ALRI dari Jawa yang kemudian menggabungkan diri ke dalam pasukan yang
ada di Bali. Karena seringnya terjadi pertempuran, pihak Belanda pernah
mengirim surat kepada Rai untuk mengadakan perundingan. Akan tetapi, pihak
pejuang Bali tidak bersedia, bahkan terus memperkuat pertahanan dengan
mengikutsertakan seluruh rakyat.
Untuk memudahkan kontak dengan Jawa, Rai
pernah mengambil siasat untuk memindahkan perhatian Belanda ke bagian timur
Pulau Bali. Pada 28 Mei 1946 Rai mengerahkan pasukannya menuju ke timur dan ini
terkenal dengan sebutan "Long March". Selama diadakan "Long
March" itu pasukan gerilya sering dihadang oleh tentara Belanda sehingga
sering terjadi pertempuran. Pertempuran yang membawa kemenangan di pihak
pejuang ialah pertempuran Tanah Arun, yaitu pertempuran yang terjadi di sebuah
desa kecil di lereng Gunung Agung, Kabupaten Karangasem. Dalam pertempuran
Tanah Arun yang terjadi 9 Juli 1946 itu pihak Belanda banyak menjadi korban.
Setelah pertempuran itu pasukan Ngurah Rai kembali menuju arah barat yang
kemudian sampai di Desa Marga (Tabanan).
Untuk lebih menghemat tenaga karena terbatasnya persenjataan, ada beberapa
anggota pasukan terpaksa disuruh berjuang bersama-sama dengan masyarakat.
Puputan Margarana
Pada waktu staf MBO berada di desa Marga, I Gusti Ngurah Rai
memerintahkan pasukannya untuk merebut senjata polisi NICA yang
ada di Kota Tabanan. Perintah itu
dilaksanakan pada 18 November 1946 (malam hari) dan
berhasil baik. Beberapa pucuk senjata beserta pelurunya dapat direbut dan
seorang komandan polisi NICA ikut menggabungkan diri kepada pasukan Ngurah Rai.
Setelah itu pasukan segera kembali ke Desa Marga. Pada 20 November 1946 sejak
pagi-pagi buta tentara Belanda mulai mengadakan pengurungan terhadap Desa
Marga. Kurang lebih pukul 10.00 pagi mulailah terjadi tembak-menembak antara
pasukan Nica dengan pasukan Ngurah Rai. Pada pertempuran yang seru itu pasukan
bagian depan Belanda banyak yang mati tertembak. Oleh karena itu, Belanda
segera mendatangkan bantuan dari semua tentaranya yang berada di Bali ditambah
pesawat pengebom yang didatangkan dari Makassar. Di dalam pertempuran
yang sengit itu semua anggota pasukan Ngurah Rai bertekad tidak akan mundur
sampai titik darah penghabisan. Di sinilah pasukan Ngurah Rai mengadakan
"Puputan" atau perang habis-habisan di desa margarana sehingga
pasukan yang berjumlah 96 orang itu semuanya gugur, termasuk Ngurah Rai
sendiri. Sebaliknya, di pihak Belanda ada
lebih kurang 400 orang yang tewas. Untuk mengenang peristiwa tersebut pada
tanggal 20 november 1946 di kenal dengan perang puputan margarana, dan kini
pada bekas arena pertempuran itu didirikan Tugu Pahlawan Taman Pujaan Bangsa.
Konferensi Denpasar
Pada tanggal 7 sampai 24 Desember 1946, Konferensi Denpasar
berlangsung di pendopo Bali Hotel. Konferensi itu dibuka oleh Hubertus Johannes van
Mook yang bertujuan untuk membentuk Negara Indonesia Timur (NIT)
dengan ibu kota Makassar (Ujung Pandang).
Dengan terbentuknya Negara Indonesia Timur itu susunan
pemerintahan di Bali dihidupkan kembali seperti pada zaman raja-raja dulu,
yaitu pemerintahan dipegang oleh raja yang dibantu oleh patih, punggawa,
perbekel, dan pemerintahan yang paling bawah adalah kelian. Di samping itu,
masih ada lagi suatu dewan yang berkedudukan di atas raja, yaitu dewan
raja-raja.
Penyerahan Kedaulatan
Agresi militer yang pertama terhadap pasukan pemeritahan
Republik Indonesia yang berkedudukan di Yogyakarta dilancarakan oleh Belanda pada tanggal 21 Juli 1947. Belanda melancarkan
lagi agresinya yang kedua 18 Desember 1948. Pada masa agresi yang kedua itu di
Bali terus-menerus diusahakan berdirinya badan-badan perjuangan bersifat
gerilya yang lebih efektif. Sehubungan dengan hal itu, pada Juli 1948 dapat
dibentuk organisasi perjuangan dengan nama Gerakan Rakyat Indonesia Merdeka
(GRIM). Selanjutnya, tanggal 27 November 1949, GRIM menggabungkan diri dengan
organisasi perjuangan lainnya dengan nama Lanjutan Perjuangan. Nama itu
kemudian diubah lagi menjadi Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) Sunda
Kecil.
Sementara itu, Konferensi Meja Bundar (KMB)
mengenai persetujuan tentang pembentukan Uni Indonesia - Belanda dimulai sejak
akhir Agustus 1949. Akhirnya, 27 Desember 1949 Belanda mengakui kedaulatan RIS.
Selanjutnya, pada tanggal 17 Agustus 1950, RIS
diubah menjadi Negara
Kesatuan Republik Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar