Abdul Haris Nasution
|
|
|
|
Presiden
|
|
Didahului
oleh
|
|
Digantikan
oleh
|
|
Masa jabatan
10 Juli 1959 – 22 Februari 1966 |
|
Presiden
|
|
Didahului
oleh
|
|
Digantikan
oleh
|
|
Informasi pribadi
|
|
Lahir
|
|
Meninggal
|
|
Kebangsaan
|
|
Partai
politik
|
Non
partai
|
Suami/istri
|
Johanna
Sunarti[1]
|
Anak
|
Hendrianti
Saharah, Ade Irma Suryani[1]
|
Profesi
|
|
Agama
|
Jenderal
Besar TNI Purn. Abdul Haris
Nasution (lahir di Kotanopan, Sumatera Utara, 3 Desember 1918 – meninggal di Jakarta, 6 September 2000 pada umur 81 tahun) adalah seorang
pahlawan nasional Indonesia[2] yang merupakan
salah satu tokoh yang menjadi sasaran dalam peristiwa Gerakan 30 September, namun yang menjadi korban adalah
putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudannya, Lettu Pierre Tendean.
Daftar isi
|
[sunting] Karier Militer
Sebagai seorang tokoh militer, Nasution sangat dikenal
sebagai ahli perang
gerilya. Pak Nas demikian sebutannya dikenal juga sebagai penggagas dwifungsi ABRI. Orde Baru yang ikut
didirikannya (walaupun ia hanya sesaat saja berperan di dalamnya) telah
menafsirkan konsep dwifungsi itu ke dalam peran ganda militer yang sangat
represif dan eksesif. Selain konsep dwifungsi ABRI, ia juga dikenal sebagai
peletak dasar perang gerilya. Gagasan perang gerilya dituangkan dalam bukunya
yang fenomenal, Fundamentals of Guerrilla Warfare. Selain diterjemahkan
ke berbagai bahasa asing, karya itu menjadi buku wajib akademi militer di
sejumlah negara, termasuk sekolah elite militer dunia, West Point,
Amerika Serikat.
Tahun 1940,
ketika Belanda membuka sekolah perwira cadangan bagi pemuda Indonesia, ia ikut
mendaftar. Ia kemudian menjadi pembantu letnan di Surabaya. Pada 1942, ia mengalami pertempuran pertamanya saat
melawan Jepang di Surabaya. Setelah
kekalahan Jepang dalam Perang
Dunia II, Nasution bersama para pemuda eks-PETA mendirikan Badan Keamanan Rakyat. Pada Maret 1946, ia diangkat menjadi
Panglima Divisi III/Priangan. Mei 1946, ia dilantik Presiden Soekarno sebagai Panglima
Divisi Siliwangi. Pada Februari 1948, ia menjadi Wakil Panglima Besar TNI
(orang kedua setelah Jendral Soedirman).
Sebulan kemudian jabatan "Wapangsar" dihapus dan ia ditunjuk menjadi
Kepala Staf Operasi Markas Besar Angkatan Perang RI. Di penghujung tahun 1949, ia diangkat menjadi Kepala Staf TNI Angkatan Darat.
Akibat pertentangan internal di dalam Angkatan Darat maka
ia menggalang kekuatan dan melawan pemerintahan yang terkenal dengan peristiwa 17 Oktober 1952.
Akibat peristiwa ini Presiden Soekarno
mencopotnya dari jabatan KASAD dan
menggantinya dengan Bambang
Sugeng. Setelah islah akhirnya pada November 1955 ia menjabat
kembali posisinya sebagai KASAD. Tidak hanya itu, pada Desember 1955 ia pun
diangkat menjadi Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia.
[sunting]
Gelar
Pada 5
Oktober 1997, bertepatan dengan
hari ABRI, Nasution dianugerahi pangkat Jendral Besar bintang lima. Nasution
tutup usia di RS Gatot Soebroto pada 6 September 2000 dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.
0 komentar:
Posting Komentar