Ka’bah adalah sebuah bangunan mendekati
bentuk kubus yang terletak di tengah Masjidil Haram di Mekah. Bangunan ini adalah
monumen suci bagi kaum muslim (umat Islam). Merupakan bangunan yang dijadikan
patokan arah kiblat atau arah patokan untuk hal hal yang bersifat ibadah bagi
umat Islam di seluruh dunia seperti sholat. Selain itu, merupakan bangunan
yang wajib dikunjungi atau diziarahi pada saat musim haji dan umrah. Bagi yang memiliki kemampuan untuk melaksanakannya.
|
Sejarah
perkembangan
Ka’bah yang juga dinamakan Baitul
Atiq atau rumah tua adalah bangunan yang dipugar pada masa Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail setelah Nabi Ismail berada di Mekkah atas perintah Allah
SWT. Dalam Al-Qur’an, surah 14:37 tersirat bahwa situs suci Ka’bah telah ada
sewaktu Nabi Ibrahim menempatkan Hajar dan bayi Ismail di lokasi tersebut.
Pada masa Nabi Muhammad SAW berusia 30 tahun (Kira kira 600 M
dan belum diangkat menjadi Rasul pada saat itu), bangunan ini direnovasi
kembali akibat bajir bandang yang melanda kota Mekkah pada saat itu. Sempat terjadi perselisihan antar kepala
suku atau kabilah ketika hendak meletakkan kembali batu Hajar Aswad namun berkat penyelesaian Muhammad
SAW perselisihan itu berhasil diselesaikan tanpa pertumpahan darah dan tanpa
ada pihak yang dirugikan.
Pada saat menjelang Muhammad SAW
diangkat menjadi Nabi sampai kepindahannya ke kota Madinah. Lingkungan Ka’bah penuh dengan patung yang merupakan
perwujudan Tuhan bangsa Arab ketika masa kegelapan pemikiran (jahilliyah)
padahal sebagaimana ajaran Nabi Ibrahim yang merupakan nenek moyang bangsa Arab dan bangsa Yahudi serta ajaran Nabi Musa terhadap kaum Yahudi, Tuhan tidak boleh disembah dengan diserupakan dengan benda
atau makhluk apapun dan tidak memiliki perantara untuk menyembahnya serta
tunggal tidak ada yang menyerupainya dan tidak beranak dan tidak diperanakkan (Surat Al Ikhlas
dalam Al-Qur’an) . Ka’bah akhirnya dibersihkan dari
patung patung ketika Nabi Muhammad membebaskan kota Mekkah tanpa pertumpahan
darah.
Selanjutnya bangunan ini diurus dan
dipelihara oleh Bani Sya’ibah
sebagai pemegang kunci ka’bah dan administrasi serta pelayanan haji diatur oleh
pemerintahan baik pemerintahan khalifah Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Muawwiyah bin Abu Sufyan, Dinasti Ummayyah, Dinasti Abbasiyyah, Dinasti Usmaniyah Turki, sampai saat ini yakni pemerintah kerajaan Arab Saudi yang bertindak sebagai pelayan dua
kota suci, Mekkah dan Madinah.
Pada awalnya bangunan Ka’bah terdiri
atas dua pintu serta letak pintu ka’bah terletak diatas tanah , tidak seperti
sekarang yang pintunya terletak agak tinggi sebagaimana pondasi yang dibuat
Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Namun ketika Renovasi Ka’bah akibat bencana
banjir pada saat Muhammad SAW berusia 30 tahun dan sebelum diangkat menjadi
rasul, karena merenovasi ka’bah sebagai bangunan suci harus menggunakan harta
yang halal dan bersih, sehingga pada saat itu terjadi kekurangan biaya. Maka
bangunan ka’bah dibuat hanya satu pintu serta ada bagian ka’bah yang tidak
dimasukkan ke dalam bangunan ka’bah yang dinamakan Hijir Ismail
yang diberi tanda setengah lingkaran pada salah satu sisi ka’bah. Saat itu
pintunya dibuat tinggi letaknya agar hanya pemuka suku Quraisy yang bisa memasukinya. Karena suku Quraisy merupakan suku
atau kabilah yang sangat dimuliakan oleh bangsa Arab.
Karena kaumnya baru saja masuk
Islam, maka Nabi Muhammad SAW mengurungkan niatnya untuk merenovasi kembali
ka’bah sehinggas ditulis dalam sebuah hadits perkataan beliau: “Andaikata kaumku
bukan baru saja meninggalkan kekafiran, akan Aku turunkan pintu ka’bah dan
dibuat dua pintunya serta dimasukkan Hijir Ismail kedalam Ka’bah”, sebagaimana
pondasi yang dibangun oleh Nabi Ibrahim.
Ketika masa Abdurrahman bin Zubair memerintah daerah Hijaz, bangunan itu dibuat sebagaimana
perkataan Nabi Muhammad SAW atas pondasi Nabi Ibrahim. Namun karena terjadi
peperangan dengan Abdul Malik bin Marwan, penguasa daerah Syam (Suriah,Yordania dan Lebanon sekarang) dan Palestina, terjadi kebakaran pada Ka’bah akibat tembakan peluru
pelontar (onager) yang dimiliki pasukan Syam. Sehingga Abdul Malik bin
Marwan yang kemudian menjadi khalifah, melakukan renovasi kembali Ka’bah
berdasarkan bangunan hasil renovasi Nabi Muhammad SAW pada usia 30 tahun bukan
berdasarkan pondasi yang dibangun Nabi Ibrahim. Dalam sejarahnya Ka’bah
beberapa kali mengalami kerusakan sebagai akibat dari peperangan dan umur
bangunan.
Ketika masa pemerintahan khalifah Harun Al Rasyid
pada masa kekhalifahan Abbasiyyah, khalifah berencana untuk merenovasi kembali
ka’bah sesuai pondasi Nabi Ibrahim dan yang diinginkan Nabi Muhammad SAW. namun
segera dicegah oleh salah seorang ulama terkemuka yakni Imam Malik karena dikhawatirkan nanti bangunan
suci itu dijadikan ajang bongkar pasang para penguasa sesudah beliau. Sehingga
bangunan Ka’bah tetap sesuai masa renovasi khalifah Abdul Malik bin Marwan
sampai sekarang.
SEJARAH
SIMBOL PEMAKAIAN BATU DALAM PANDANGAN KEBELAKANG .
Sering para kristen mengkritik islam jika yang disembah kaum muslim itu adalah berhala ” Batu ” yg ada di Ka’bah …..betulkah ?
Dan sejak kapan tradisi semacam ini terjadi ?
Dibawah ini saya uraikan sedikit sejarah pemujaan batu :
yang ditulis oleh sang mualaf David Benjamin Keldani
Sering para kristen mengkritik islam jika yang disembah kaum muslim itu adalah berhala ” Batu ” yg ada di Ka’bah …..betulkah ?
Dan sejak kapan tradisi semacam ini terjadi ?
Dibawah ini saya uraikan sedikit sejarah pemujaan batu :
yang ditulis oleh sang mualaf David Benjamin Keldani
MualafPROFESOR
DAVID BENJAMIN KELDANI B.D.(Wafat 1940) Dahulu Uskup Uramiah, Kaldea.
MISTERI MISPA ” BATU HITAM ” DAN IBADAH HAJI
MISTERI MISPA ” BATU HITAM ” DAN IBADAH HAJI
MISTERI TENTANG “MISPA”Seperti ditunjukkan
judul artikel ini saya akan mencoba untuk memberikan peragaan tentang budaya
batu dari orang Ibrani Kuno yang mereka warisi dari Ibrahim, nenek moyang
mereka, dan untuk menunjukkan bahwa budaya batu ini telah dilembagakan di
Mekkah oleh Patriarch Ibrahim dan anak laki-lakinya Ismail; di tanah Kanaan
oleh Ishaq dan Yakub; di Moab dan tempat lainnya oleh keturunan Ibrahim yang
lain.Istilah “Budaya Batu”bukan dimaksudkan sebagai pemujaan terhadap batu yang
adalah penyembahan berhala; budaya batu ini saya fahami sebagai pemujaan kepada
Tuhan pada suatu batu khusus yang telah diberkati untuk maksud tersebut. Pada
masa itu ketika bangsa terpilih (Isarel)ini menjalani kehidupan sebagai nomad
dan penggembala, mereka tidak memiliki habitat yang tetap untuk mendirikan
rumah yang khusus ditujukan untuk pemujaan Tuhan; biasanya mereka mendirikan
sebuah batu di sekitar mana mereka biasa melakukan ritual haji, yaitu
mengelilingi batu itu tujuh kali dalam bentuk lingkaran tarian (semacam tawaf-
pent.). Kata haji mungkin menakutkan pembaca yang beragama Kristen dan mungkin
mereka berkerut melihatnya karena bentuk Arabnya dan karena upacara ini telah
menjadi ritual ummat Islam saat ini. Kata haji adalah persis sama dalam arti
dan etimologi dengan kata yang sama dalam bahasa Ibrani dan Semit lainnya. Kata
Ibrani “hagag” adalah sama dengan hajaj dalam bahasa Arab, perbedaannya hanya
terletak pada pengucapan huruf ketiga dari alfabet bahasa Semit “gamal” yang
orang Arab mengucapkannya sebagai “j”. Kitab Hukum Moses (Torah) mempergunakan
kata hagag atau haghagh ini 1) jika memerintahkan untuk melaksanakan upacara
festival ini.. Kata itu menandakan untuk mengitari sebuah bangunan atau altar
atau sebuah batu dengan cara berlari mengelilinginya dengan langkah teratur dan
terlatih dengan tujuan melaksanakan perayaan agama dengan bergembira dan
nyanyian (do’a). Di Timur ummat Kristen masih mempraktekkan apa yang mereka
sebut “higga” baik di hari-hari pesta atau perkawinan mereka. Dengan sendirinya
kata ini tidak memiliki hubungan apapun dengan pilgrimage atau upacara haji
(ummat Islam), yang berasal dari kata bahasa Itali pellegrino, dan ini juga
dari bahasa Latin peregrinus yang berarti “orang asing” (foreigner).Selama
dalam kunjungannya Ibrahim biasanya mendirikan sebuah altar untuk pemujaan dan
korban pada beberapa tempat yang berbeda dan pada peristiwa-peristiwa tertentu.
Ketika Yakub dalam perjalanan menuju Padan Aram dan melihat visi tangga yang
indah itu beliau mendirikan sebuah batu di situ, ke atas mana beliau menuangkan
minyak dan menyebutnya Bethel, yaitu Rumah Tuhan., dan dua puluh tahun kemudian
beliau mengunjungi batu itu kembali, ke atas mana beliau menuangkan minyak dan
“anggur asli”, seperti tertulis dalam Genesis xxviii. 10 – 22; xxxv. Sebuah
batu istimewa didirikan sebagai monumen oleh Yakub dan ayah mertuanya di atas
setumpuk batu dan menyebutnya Gal’ead dalam bahasa Ibrani, dan Yaghar sahdutha
by Laban dalam bahasa Aramia, yang berarti “sejumlah kesaksian”. Namun nama
yang pantas yang mereka berikan pada batu yang didirikan itu ialah “Mispa”
(Genesis xxxi. 45 – 55), yang saya lebih senang untuk menuliskannya dalam
bentuk tepat bahasa Arabnya, Mispha, dan ini saya lakukan begitu untuk
kepentingan pembaca yang beragama Islam.Mispha ini kemudian menjadi tempat
pemujaan yang sangat penting, dan pusat dari pertemuan nasional dalam sejarah
bangsa Israel. Di sinilah Naphthah, seorang pahlawan Yahudi, bersumpah “di
hadapah Tuhan” dan setelah mengalahkan bangsa Ammonit, dia diceriterakan
sebagai telah mengorbankan anak perempuan satu-satunya sebagai korban bakaran
(Hakim-Hakim xi). Di Mispha itulah bahwa empat ratus ribu orang bersenjata dari
sebelas suku bangsa Israel berkumpul dan “bersumpah di hadapan Tuhan” untuk
memusnahkan suku bangsa Benjamin untuk kejahatan yang dibenci yang telah
dilakukan oleh seorang bangsa Benjamin dari Geba’ dan berhasil (Hakim-Hakim xx.
xxi.). Nabi Samuel mengundang semua orang ke Mispha di mana mereka “bersumpah
di hadapan Tuhan” untuk menghancurkan semua patung dan gambar mereka, dan
kemudian diselamatkan dari tangan orang Filistin (1 Samuel vii). Di sinilah
orang berkumpul dan Saul dinobatkan jadi Raja atas orang Israel (1 Samuel x).
Dengan singkat, setiap masalah nasional yang penting diputuskan di Mispha atau
di Bethel. Tampaknya kuil ini dibangun di atas tempat yang tinggi atau tempat
yang ditinggikan, sering disebut Ramoth, yang berarti “tempat yang tinggi”.
Bahkan setelah Kuil Suleiman yang indah dibangun, Mispha tetap sangat
dihormati. tetapi seperti halnya Ka ‘aba di Mekkah, Mispha ini sering diisi
dengan patung dan gambar-gambar. Sesudah penghancuran Jeruzalem dan Kuil oleh
orang Kaldea, Mispha itu masih tetap memiliki sifat sucinya hingga masa kaum
Makabi selama pemerintah Raja Antiochus. 2)
Sekarang apa arti kata Mispa itu?
Biasanya kata itu diterjemahkan sebagai “menara pengawas”. Kata ini termasuk kata benda dalam bahasa Semit – Asma Zarf – yang mengambil nama mereka dari benda yang dibungkus atau dicakupnya. Mispa adalah tempat atau bangunan yang mengambil namanya dari sapha, kata bahasa kuno untuk “batu”. Kata biasa untuk batu dalam bahasa Ibrani ialah “iben”, dan dalam bahasa Arab “hajar”. Dalam bahasa Syria batu adalah “kipa”.Tetapi safa atau sapha tampaknya menjadi bahasa yang umum bagi mereka semua untuk suatu obyek atau pribadi tertentu bila itu dianggapnya sebagai “batu”. Dari hal ini maka Mispa berarti lokal atau tempat di mana sapha atau batu itu terletak dan terpasang. Akan kita lihat kapan nama Mispa ini untuk pertama kalinya diberikan kepada batu yang didirikan di atas tumpukan balok batu, di situ tidak ada bangunan yang mengitarinya. Itu adalah spot atau tempat di mana sapha itu terletak, dan itu disebut Mispa.Sebelum menerangkan arti dari kata benda sapha saya ingin meminta kesabaran para pembaca yang tidak mengenal bahasa Ibrani. Bahasa Arab tidak mempunyai bunyi huruf ” p ” dalam alfabetnya sebagaimana juga dalam bahasa Ibrani dan bahasa Semit lainnya, di mana huruf ” p “, seperti halnya ” g “, kadang kala lunak dan diucapkan seperti ” f ” atau ” ph “. Dalam bahasa Inggris sebagai aturan, kata-kata dalam bahasa Semit atau Yunani yang berisi bunyi ” f ” ditransliterasikan (dipindah hurufkan) dan ditulis dengan sisipan ” ph ” dan bukan ” f “, misalnya: Seraph, Mustapha, dan Philosophy. Sesuai dengan aturan inilah saya lebih menyukai menulis kata sapha daripada safa.Ketika Jesus Kristus memberikan nama panggilan kepada pengikut pertamanya Shim’on (Simon) dengan gelar yang berarti “Petros” (Peter), pastilah dalam benak beliau tersirat sapha yang kuno dan suci yang telah lama hilang! Tetapi, sayang! kita tidak dapat dengan pasti menguraikan kata yang tepat yang beliau nyatakan dalam bahasanya sendiri. Dalam bahasa Yunani kata Petros dalam kasus maskulin – Petra dalam kasus feminin – adalah begitu tidak klasikal dan tidak berbau Yunani, yang orang menjadi sangat heran bahwa gereja mengadopsi kata itu. Pernahkah Jesus atau orang Yahudi lainnya bermimpi untuk memanggil nelayan Bar Yona, Petros? Pastilah tidak. Versi bahasa Syria ialah Pshitta seringkali menjadikan bentuk bahasa Yunani ini dengan Kipha (Kipa). Dan kenyataan baku bahwa bahkan teks bahasa Yunani telah melestarikan nama asli “Kephas,” yang versi bahasa Inggris mereproduksinya dalam bentuk “Cephas”, menunjukkan bahwa Kristus berbicara dalam bahasa Aramia dan memberi nama panggilan “Kipha” kepada pengikut utamanya.Versi lama bahasa Arab untuk Perjanjian Lama seringkali menulis nama St Peter dengan “Sham’un’ as-Sapha”; yaitu “Simon the Stone”. Kata-kata Kristus: “Thou art Peter”, dsb. padanan (ekivalen) dalam versi bahasa Arab ialah “Antas-Sapha” (Matius xvi. 18; Yohanes i. 42, dsb.).Karena itu bila Simon itu adalah Sapha, gereja yang akan dibangun di atasnya tentulah menjadi Mispha. Bahwa Kristen harus membandingkan Simon dengan Sapha dan Gereja dengan Mispha adalah sangat istimewa; namun bila tiba saatnya saya membuka tabir misteri yang tersembunyi dalam kesamaan ini dan kebijakan yang terkait dalam Sapha, maka haruslah diterima sebagai suatu kebenaran yang ajaib dari kehebatan Nabi Muhammad atas gelarnya yang mulia: MUSTAPHA !Dari apa yang telah diungkapkan di atas, keinginan untuk tahu kita dengan sendirinya akan menyebabkan kita untuk bertanya tentang hal-hal berikut:Mengapa ummat Islam dan Kristen Unitarian keturunan Nabi Ibrahim memilih batu untuk melaksanakan upacara keagamaan pada atau sekitar batu itu ?Mengapa batu istimewa ini disebut Sapha?Apa yang akan dituju oleh si penulis? Dan seterusnya – mungkin beberapa pertanyaan lainnyaBatu itu telah dipilih sebagai sebuah benda yang paling sesuai ke atas mana seseorang yang patuh pada agamanya meletakkan korbannya, menuangkan minyak murni dan anggurnya 3) dan melaksanakan upacara keagamaannya di sekitar batu itu. Lebih daripada itu, batu ini didirikan untuk memperingati ikrar dan janji-janji tertentu yang telah dibuat oleh seorang Nabi atau orang yang lurus dalam agamanya kepada Penciptanya, dan wahyu yang diterima dari Tuhan. Dengan begitu, batu itu adalah monumen suci untuk mengabadikan kenangan dan karakter suci dari peristiwa keagamaan yang besar. Untuk maksud tersebut, kiranya tidak ada benda lain yang melebihi batu. Bukan saja batu itu kuat dan tahan lama yang membuat batu itu lebih sesuai untuk maksud tersebut, tetapi juga kesahajaannya, kemurahannya, tidak bernilainya pada suatu tempat sunyi akan menjamin terhindar dari perhatian orang yang tamak atau yang membenci untuk mencuri atau membinasakannya. Seperti telah diketahui dengan baik, Hukum Musa (Taurat) melarang dengan keras untuk memotong atau memahat batu-batu altar. Batu yang disebut Sapha mutlak dibiarkan tetap dalam keadaan aslinya: tidak ada gambar-gambar, inskripsi, atau ukiran yang dicetak di atasnya, agar salah satu daripadanya tidak akan dipuja di masa mendatang oleh orang-orang yang bodoh. Emas, besi, perak atau metal lainnya tidak dapat memenuhi semua mutu yang diperlukan oleh sebuah batu yang sederhana. Karena itu akan dimengerti bahwa benda yang paling murni, paling tahan lama, dapat diterima dan paling aman untuk sebuah monumen agama dan suci tidak bisa lain kecuali batu.Patung perunggu Jupiter disembah oleh Pontifex Maximus Roma yang kafir, diambil dari Pantheon dan dicor kembali menjadi gambar St Peter atas perintah Souvereign Pointiff Kristen; sesungguhnyalah kebijakan yang terangkum dalam Sapha mengagumkan dan berharga bagi semua mereka yang tidak menyembah obyek apapun di samping Tuhan.Juga harus diingat, bukan saja Sapha yang didirikan itu sebagai monumen suci, tetapi demikian juga tempat yang khusus dan sirkuit di mana Sapha itu terletak. Dan untuk alasan inilah bahwa upacara haji bagi Muslim, seperti halnya higga bagi orang Yahudi, dilakukan di sekitar bangunan di mana Batu Suci itu terletak.
Sekarang apa arti kata Mispa itu?
Biasanya kata itu diterjemahkan sebagai “menara pengawas”. Kata ini termasuk kata benda dalam bahasa Semit – Asma Zarf – yang mengambil nama mereka dari benda yang dibungkus atau dicakupnya. Mispa adalah tempat atau bangunan yang mengambil namanya dari sapha, kata bahasa kuno untuk “batu”. Kata biasa untuk batu dalam bahasa Ibrani ialah “iben”, dan dalam bahasa Arab “hajar”. Dalam bahasa Syria batu adalah “kipa”.Tetapi safa atau sapha tampaknya menjadi bahasa yang umum bagi mereka semua untuk suatu obyek atau pribadi tertentu bila itu dianggapnya sebagai “batu”. Dari hal ini maka Mispa berarti lokal atau tempat di mana sapha atau batu itu terletak dan terpasang. Akan kita lihat kapan nama Mispa ini untuk pertama kalinya diberikan kepada batu yang didirikan di atas tumpukan balok batu, di situ tidak ada bangunan yang mengitarinya. Itu adalah spot atau tempat di mana sapha itu terletak, dan itu disebut Mispa.Sebelum menerangkan arti dari kata benda sapha saya ingin meminta kesabaran para pembaca yang tidak mengenal bahasa Ibrani. Bahasa Arab tidak mempunyai bunyi huruf ” p ” dalam alfabetnya sebagaimana juga dalam bahasa Ibrani dan bahasa Semit lainnya, di mana huruf ” p “, seperti halnya ” g “, kadang kala lunak dan diucapkan seperti ” f ” atau ” ph “. Dalam bahasa Inggris sebagai aturan, kata-kata dalam bahasa Semit atau Yunani yang berisi bunyi ” f ” ditransliterasikan (dipindah hurufkan) dan ditulis dengan sisipan ” ph ” dan bukan ” f “, misalnya: Seraph, Mustapha, dan Philosophy. Sesuai dengan aturan inilah saya lebih menyukai menulis kata sapha daripada safa.Ketika Jesus Kristus memberikan nama panggilan kepada pengikut pertamanya Shim’on (Simon) dengan gelar yang berarti “Petros” (Peter), pastilah dalam benak beliau tersirat sapha yang kuno dan suci yang telah lama hilang! Tetapi, sayang! kita tidak dapat dengan pasti menguraikan kata yang tepat yang beliau nyatakan dalam bahasanya sendiri. Dalam bahasa Yunani kata Petros dalam kasus maskulin – Petra dalam kasus feminin – adalah begitu tidak klasikal dan tidak berbau Yunani, yang orang menjadi sangat heran bahwa gereja mengadopsi kata itu. Pernahkah Jesus atau orang Yahudi lainnya bermimpi untuk memanggil nelayan Bar Yona, Petros? Pastilah tidak. Versi bahasa Syria ialah Pshitta seringkali menjadikan bentuk bahasa Yunani ini dengan Kipha (Kipa). Dan kenyataan baku bahwa bahkan teks bahasa Yunani telah melestarikan nama asli “Kephas,” yang versi bahasa Inggris mereproduksinya dalam bentuk “Cephas”, menunjukkan bahwa Kristus berbicara dalam bahasa Aramia dan memberi nama panggilan “Kipha” kepada pengikut utamanya.Versi lama bahasa Arab untuk Perjanjian Lama seringkali menulis nama St Peter dengan “Sham’un’ as-Sapha”; yaitu “Simon the Stone”. Kata-kata Kristus: “Thou art Peter”, dsb. padanan (ekivalen) dalam versi bahasa Arab ialah “Antas-Sapha” (Matius xvi. 18; Yohanes i. 42, dsb.).Karena itu bila Simon itu adalah Sapha, gereja yang akan dibangun di atasnya tentulah menjadi Mispha. Bahwa Kristen harus membandingkan Simon dengan Sapha dan Gereja dengan Mispha adalah sangat istimewa; namun bila tiba saatnya saya membuka tabir misteri yang tersembunyi dalam kesamaan ini dan kebijakan yang terkait dalam Sapha, maka haruslah diterima sebagai suatu kebenaran yang ajaib dari kehebatan Nabi Muhammad atas gelarnya yang mulia: MUSTAPHA !Dari apa yang telah diungkapkan di atas, keinginan untuk tahu kita dengan sendirinya akan menyebabkan kita untuk bertanya tentang hal-hal berikut:Mengapa ummat Islam dan Kristen Unitarian keturunan Nabi Ibrahim memilih batu untuk melaksanakan upacara keagamaan pada atau sekitar batu itu ?Mengapa batu istimewa ini disebut Sapha?Apa yang akan dituju oleh si penulis? Dan seterusnya – mungkin beberapa pertanyaan lainnyaBatu itu telah dipilih sebagai sebuah benda yang paling sesuai ke atas mana seseorang yang patuh pada agamanya meletakkan korbannya, menuangkan minyak murni dan anggurnya 3) dan melaksanakan upacara keagamaannya di sekitar batu itu. Lebih daripada itu, batu ini didirikan untuk memperingati ikrar dan janji-janji tertentu yang telah dibuat oleh seorang Nabi atau orang yang lurus dalam agamanya kepada Penciptanya, dan wahyu yang diterima dari Tuhan. Dengan begitu, batu itu adalah monumen suci untuk mengabadikan kenangan dan karakter suci dari peristiwa keagamaan yang besar. Untuk maksud tersebut, kiranya tidak ada benda lain yang melebihi batu. Bukan saja batu itu kuat dan tahan lama yang membuat batu itu lebih sesuai untuk maksud tersebut, tetapi juga kesahajaannya, kemurahannya, tidak bernilainya pada suatu tempat sunyi akan menjamin terhindar dari perhatian orang yang tamak atau yang membenci untuk mencuri atau membinasakannya. Seperti telah diketahui dengan baik, Hukum Musa (Taurat) melarang dengan keras untuk memotong atau memahat batu-batu altar. Batu yang disebut Sapha mutlak dibiarkan tetap dalam keadaan aslinya: tidak ada gambar-gambar, inskripsi, atau ukiran yang dicetak di atasnya, agar salah satu daripadanya tidak akan dipuja di masa mendatang oleh orang-orang yang bodoh. Emas, besi, perak atau metal lainnya tidak dapat memenuhi semua mutu yang diperlukan oleh sebuah batu yang sederhana. Karena itu akan dimengerti bahwa benda yang paling murni, paling tahan lama, dapat diterima dan paling aman untuk sebuah monumen agama dan suci tidak bisa lain kecuali batu.Patung perunggu Jupiter disembah oleh Pontifex Maximus Roma yang kafir, diambil dari Pantheon dan dicor kembali menjadi gambar St Peter atas perintah Souvereign Pointiff Kristen; sesungguhnyalah kebijakan yang terangkum dalam Sapha mengagumkan dan berharga bagi semua mereka yang tidak menyembah obyek apapun di samping Tuhan.Juga harus diingat, bukan saja Sapha yang didirikan itu sebagai monumen suci, tetapi demikian juga tempat yang khusus dan sirkuit di mana Sapha itu terletak. Dan untuk alasan inilah bahwa upacara haji bagi Muslim, seperti halnya higga bagi orang Yahudi, dilakukan di sekitar bangunan di mana Batu Suci itu terletak.
Adalah suatu kenyataan yang
diketahui bahwa orang Karamati yang mengambil Batu Hitam dari Ka’aba dan
menyimpannya di negerinya sendiri selama dua puluh tahun, diwajibkan untuk
membawa dan meletakkannya kembali pada tempatnya semula karena mereka tidak
dapat menarik jamaah haji dari Mekkah. Kalau saja batu itu emas atau obyek lain
yang bernilai, pastilah sudah tidak ada lagi paling kurang selama lima ribu
tahun; atau kalau seandainya batu itu memiliki pahatan atau ukiran atau gambar,
pastilah Nabi Muhammad saw sendiri sudah membinasakannya.Mengenai arti atau
lebih baik banyak arti dari Sapha, sudah saya tunjukkan bahwa itu menunjuk pada
berbagai mutu yang dimiliki batu itu.Kata itu terdiri atas huruf hidup “sadi”
(shad) dan “pi” berakhir dengan bunyi “hi” keduanya sebagai kata kerja dan kata
benda. Dalam bentuk “qal” itu berarti “mensucikan” “memperhatikan, menatap dari
kejauhan, dan memilih”. Kata itu juga mempunyai arti “bersikap tegas dan
mantap”; dalam paradigma pi’el (?) yang adalah kausatif, itu berarti “membuat
pilihan, menyebabkan untuk memilih,” dan sebagainya.Seseorang yang memandang
dari sebuah menara disebut Sophi (2 Raja-Raja ix. 17, dst). Di zaman dulu sebelum
kuil Suleiman dibangun, Nabi atau “Orang (nya) Tuhan” disebut Roi atau Hozi
yang berarti “penglihat” (1 Samuel ix. 9). Tentu saja para sarjana Ibrani
sangat mengenal dengan kata Msaphpi, atau lebih baik Msappi, yang merupakan
kesamaan dalam ortografi bahasa Arab musaphphi, yang berarti: “seorang yang
berusaha untuk memilih yang murni, mantap dan tegas,” dsb.
Pengawas di Menara Yisrael seperti
tersebut di atas, memandang dan mengawasi dengan tajam dari kejauhan untuk
membedakan sekelompok orang yang datang menuju kota. Dia melihat utusan pertama
dari Raja yang datang dan bergabung dengan kelompok itu tetapi tidak kembali.
Hal yang sama terjadi dengan utusan kedua dan ketiga. Barulah kemudian bahwa
Sophi itu dapat mengenali Ketua dari kelompok itu sebagai Jehu. Nah, apa
gerangan kegiatan dan kerja pengawas atau pengamat ini? Pekerjaannya ialah
mengawasi dengan tajam dari kejauhan untuk mengenali satu di antara yang
lainnya dengan tujuan untuk mengetahui identitas dan gerakannya, bila saja
mungkin, dan kemudian memberi tahukan kepada Raja.
Jika anda bertanya: Apa kegiatan dan
pekerjaan Sophi dari Mispha yang seorang diri itu? Jawaban berikut ini pasti
tidak akan memuaskan seorang penyelidik yang mempunyai keinginan tahu yang
besar: “…dia biasa mengawasi dari minaret Misppha (Mispa) agar dapat mengenali
identitas orang yang datang di padang pasir, atau dia biasa mengawasi
kemungkinan adanya bahaya.” Bila demikian, sifat keagamaan serta suci dari
Misppha itu akan hilang, dan mungkin lebih akan berfungsi sebagai menara
pengawas militer. Tetapi masalah Sophi dari Mispha berlainan sekali. Asal
mulanya Mispha hanyalah sebuah kuil sederhana pada suatu tempat tinggi yang
terpisah di Gal’ead di mana Sophi dengan keluarganya atau pembantu-pembantuny a
biasa bertempat tinggal. Setelah penaklukan dan pendudukan tanah Kanaan oleh
Israel, jumlah Mispha itu meningkat dan segera saja Mispha itu menjadi pusat
keagamaan yang besar dan berkembang menjadi lembaga pelajaran dan
konfraternitas. Tampaknya pusat-pusat itu menjadi seperti Mevlevi, Bektashi,
Neqshbendi dan konfraternitas lainnya yang ada pada orang Islam, masing-masing
ada di bawah Sheik dan Murshidnya sendiri. Mereka memiliki sekolah-sekolah yang
ada di bawah naungan Mispha di mana diajarkan Hukum Musa, agama,sastra Ibrani
dan cabang-cabang ilmu pengetahuan lainnya. Namun di atas kegiatan pendidikan
ini, Sophi adalah kepala tertinggi dari mayarakat pemula yang biasa dia beri
perintah dan ajar tentang agama yang esoterik dan mistik yang kita ketahui
disebut Sophia. Sesungguhnyalah apa yang kita sebut kini dengan sufi pada waktu
itu disebut nbiyim atau “prophets” (nabi), dan apa yang dalam Islam disebut
takkas, zikr atau seruan do’a, mereka sebut dengan “prophesying” (nubuah). Pada
zaman Nabi Samuel yang juga sebagai kepala negara dan lembaga Mispha, para
pengikut dan pemula itu menjadi sangat banyak; dan ketika Saul diminyaki
(upacara keagamaan) dan dimahkotai sebagai raja, dia ikut zikr atau kegiatan
keagamaan menyeru do’a bersama dengan para pemula dan diumumkan dimana-mana:
“Perhatikanlah, Saul juga ada di antara para Nabi.” Dan ungkapan ini menjadi
peribahasa; karena dia juga ikut “prohesying” dengan kelompok para nabi itu
(1Samuel x. 9-13). Persufian di antara orang-orang Ibrani berlanjut terus
menjadi konfraternitas keagamaan yang esoterik di bawah kekuasaan Nabi waktu
itu hingga wafatnya raja Suleiman. Sesudah kerajaan pecah menjadi dua bagian,
ternyata perpecahan besar terjadi juga di antara para sufi. Di zaman Nabi Ilyas
kira-kira 900 tahun sebelum Isa, dikatakan kepada kita bahwa beliau adalah
satu-satunya Nabi yang sejati yang masih tertinggal dan bahwa semua yang
lainnya telah tewas terbunuh; dan ada delapan ratus lima puluh nabi Baal dan
Ishra yang ikut “makan di meja Ratu Izabel” (1 Raja-Raja xviii. 19).
Namun hanya beberapa tahun kemudian, pengikut Nabi Ilyas dan penggantinya Nabi Elisha, telah disambut di Bethel dan Jericho oleh puluhan “anak-anak Nabi” yang meramalkan kenaikan nabi Ilyas dalam waktu dekat (2 Raja-raja ii.)Apapun posisi sesungguhnya para Sufi Ibrani sesudah terjadinya perpecahan besar agama dan bangsa, satu hal adalah pasti, yaitu bahwa pengetahun sejati tentang Tuhan dan ilmu pengetahuan agama yang esoterik tetap terpelihara hingga kedatangan Jesus Kristus, yang membangun masyarakat pemulanya di dalam “kalangan dalam agama” (Inner Religion) atas Simon the Sapha, dan bahwa para Sophi sejati atau para pengawas, penglihat atau pengamat dari Mispha Kristen melestarikan pengetahuan itu dan mengawasinya hingga kedatangan Pilihan Allah, Nabi Muhammad al-Mustapha – atau Mustaphi dalam bahasa Ibrani!Seperti saya katakan di atas, Injil menyebut banyak nama para nabi yang terkait dengan Mispha; namun kita harus benar-benar mengerti bahwa sebagaimana dengan jelas Al Qur’an menyatakannya: “Tuhan Yang Paling Mengetahui siapa yang akan Dia angkat menjadi UtusanNya” bahwa Dia tidak memberikan hadiah ramalan kepada seseorang dengan sebab untuk kemuliaannya, kekayaannya, atau bahkan kealimannya, namun semata -mata hanya untuk kesenanganNya (keridhoanNya- pen.). Keyakinan dan semua kegiatan keagamaan, meditasi, latihan spiritual, doa, puasa, dan ilmu pengetahuan suci mungkin menyebabkan timbulnya seorang baru menjadi murshid atau pembimbing spiritual, atau sampai pada tingkat santo (orang suci), tetapi tidak akan pernah sampai pada tingkat nabi; karena kenabian bukanlah dicapai dengan melalui upaya, tetapi adalah sebuah pemberian Tuhan. Bahkan di antara para Nabi hanya ada beberapa saja yang adalah Utusan (Rasul) yang diberi kitab suci khusus dan diperintahkan untuk memberi petunjuk dan peringatan kepada ummat tertentu atau dengan misi khusus.
Namun hanya beberapa tahun kemudian, pengikut Nabi Ilyas dan penggantinya Nabi Elisha, telah disambut di Bethel dan Jericho oleh puluhan “anak-anak Nabi” yang meramalkan kenaikan nabi Ilyas dalam waktu dekat (2 Raja-raja ii.)Apapun posisi sesungguhnya para Sufi Ibrani sesudah terjadinya perpecahan besar agama dan bangsa, satu hal adalah pasti, yaitu bahwa pengetahun sejati tentang Tuhan dan ilmu pengetahuan agama yang esoterik tetap terpelihara hingga kedatangan Jesus Kristus, yang membangun masyarakat pemulanya di dalam “kalangan dalam agama” (Inner Religion) atas Simon the Sapha, dan bahwa para Sophi sejati atau para pengawas, penglihat atau pengamat dari Mispha Kristen melestarikan pengetahuan itu dan mengawasinya hingga kedatangan Pilihan Allah, Nabi Muhammad al-Mustapha – atau Mustaphi dalam bahasa Ibrani!Seperti saya katakan di atas, Injil menyebut banyak nama para nabi yang terkait dengan Mispha; namun kita harus benar-benar mengerti bahwa sebagaimana dengan jelas Al Qur’an menyatakannya: “Tuhan Yang Paling Mengetahui siapa yang akan Dia angkat menjadi UtusanNya” bahwa Dia tidak memberikan hadiah ramalan kepada seseorang dengan sebab untuk kemuliaannya, kekayaannya, atau bahkan kealimannya, namun semata -mata hanya untuk kesenanganNya (keridhoanNya- pen.). Keyakinan dan semua kegiatan keagamaan, meditasi, latihan spiritual, doa, puasa, dan ilmu pengetahuan suci mungkin menyebabkan timbulnya seorang baru menjadi murshid atau pembimbing spiritual, atau sampai pada tingkat santo (orang suci), tetapi tidak akan pernah sampai pada tingkat nabi; karena kenabian bukanlah dicapai dengan melalui upaya, tetapi adalah sebuah pemberian Tuhan. Bahkan di antara para Nabi hanya ada beberapa saja yang adalah Utusan (Rasul) yang diberi kitab suci khusus dan diperintahkan untuk memberi petunjuk dan peringatan kepada ummat tertentu atau dengan misi khusus.
Karena itu istilah “nabi” seperti
dipergunakan dalam Kitab Suci orang Ibrani seringkali adalah bermakna ganda
(lebih dari satu).Saya juga harus mencatat dalam hubungan ini bahwa mungkin
sebagian besar dari materi Injil adalah karya atau produksi dari Mispha-Mispha
ini sebelum Penangkapan Babilon atau bahkan mungkin sebelumnya, tetapi kemudian
direvisi oleh tangan-tangan yang tidak diketahui siapa punya hingga menjadi
dalam bentuknya seperti kita kenal sekarang.Nah sekarang tinggal beberapa kata
lagi untuk dikatakan tentang Sufiisme orang Muslim dan kata bahasa Yunani
“Sophia” (kebijakan atau cinta akan kebijakan); dan suatu perbincangan tentang
dua sistim pengetahuan tinggi ini terletak di luar ruang lingkup artikel ini.
Dalam pengertian luas, filosofi adalah suatu studi atau ilmu pengetahuan
tentang prinsip utama tentang “ada”; dengan perkataan lain filosofi itu
melampaui batas dari fisik ke studi tentang “ada yang murni”. dan meninggalkan
studi tentang sebab musabab atau hukum dari apa yang terjadi atau dilihat di
dalam alam sebagai sedang mencoba untuk menggapai metafisik yang berhubungan
dengan keyakinan, etika dan hukum yang kini dikenal sebagai aspek spiritual
dari peradaban, sedang fisik itu dianggap sebagai aspek materi dari peradaban.
Karenanya sulit sekali untuk menemukan kebenaran.Perbedaan antara kata bahasa
Yunani “Sophia” dan Sufi Muslim ialah bahwa orang Yunani itu telah mencampur
adukkan bidang materialistik dan spiritual dan pada saat yang bersamaan mereka
gagal untuk menerima wahyu seperti diakui oleh filosof utama mereka Aristotle
dan Socrates bahwa berhubungan dengan metafisik tanpa adanya wahyu dari Sang
Pencipta seperti menyeberangi samudera di atas sebatang kayu! Sedang Sufi orang
Muslim yang beruntung mengkonsentrasikan diri dalam bidang etika dan mengikuti
jejak Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya dalam mendisiplinkan hati seseorang
dan diri sendiri dalam berlayar untuk menggapai Kumpulan Tinggi Para Malaikat
dan sebagainya.Sufiisme orang Muslim adalah kontemplasi tentang karya Allah dan
CiptaanNya dan diri sendiri, dan menghindarkan diri dari kontemplasi tentang
Allah Sendiri, karena manusia itu dibuat dari lingkungannya, dan selekas dia
akan mempergunakan panca inderanya untuk melukiskan Allah, maka akan menjadi
sangat berbahaya seperti halnya terjadi dengan orang Mesir ketika mereka
melukiskan Sphinx yang memiliki kepala, cakar, tubuh, dsb.Keunggulan Sophia
Islam daripada filosofi Yunani adalah pernyataan (manifestasi) dari obyek yang
dilihat. Dan dengan pasti Sophia Islam itu lebih unggul daripada selibasi dalam
agama Kristen dan religiositas (monastik) dalam ketidak pekaannya terhadap
kesadaran dan kepercayaan orang lain. Seorang Sufi Muslim selalu menawarkan
hormat terhadap agama lain, menertawakan gagasan “heresy” dan mencela semua
pengejaran dan penindasan (persecution and oppression). Sebagian besar orang
suci (santo) Kristen adalah kalau bukan persekutor maka dia adalah orang yang
terkena persekusi karena “heresy”, dan mereka terkenal karena ketidak
toleransian mereka. Sayang , tetapi itulah kebenarannya.Juga bermanfaat untuk
dicatat bahwa dalam abad awal Islam, para Sufi Muslim disebut dengan “Zahid”
atau “Zohad” dan pada saat itu mereka tidak mempunyai metodologi, tetapi mereka
memiliki fraternitas atau komunitas kepercayaan dan jurisprudensi yang lengkap
bagi mazhabnya.
Mereka berkonsentrasi pada etika dan
pemikiran. Generasi berikutnya membuat metodologi pelajaran untuk para pemula,
menengah (intermediate) dan yang sudah lanjut (the advanced) berdasarkan Al
Qur’an dan Hadith Nabi (Prophetic Quotations). Jelas sekali bahwa rektisi
setiap hari atas Al Qur’an, penghafalan Asma’al-Husna dan do’a bagi Nabi
Muhammad saw bersama dengan permohonan ampun kepada Allah dan sholat tahajud,
puasa di siang hari adalah beberapa dari karakteristik yang penting. Pada pihak
lain, para Sufi Muslim yang otentik menolak setiap anggota yang tidak jujur dan
tulus yang gagal untuk mengikuti jejak Nabi Muhammad. Harus diakui, banyak
orang bodoh telah termakan, dengan berpikir bahwa kasus ketidak tulusan itu
adalah mewakili Sufiisme Muslim. Mereka tidak bisa mengerti bahwa Ihsan yang
adalah sepertiga dari agama seperti ditunjukkan dalam jawaban Nabi Muhammad saw
atas pertanyaan: “Apakah Islam itu?”, “Apakah Iman itu?” dan “Apakah Ihsan
itu?”, ketika Nabi Muhammad saw bersabda bahwa orang yang bertanya itu ialah
malaikat Jibril, dan bahwa beliau datang untuk mengajar agama kepadamu.
Demikian juga, Islam itu dilayani oleh empat mazhab jurisprudensi (fikh),
sedang Iman oleh mazhab kepercayaan seperti Salaf dan Ashariah, dan tentu saja
Sufi dilayani oleh Ihsan. Bila seseorang meragukan hal ini, biarlah dia
menyebutkan pakar-pakar Ihsan, karena bila anda pergi ke Pengadilan Islam yang
termasuk dalam seksi Islam, atau pergi ke mazhab Kepercayaan dan mengaku bahwa
ada iri hati dan dengki dalam hatinya dsb. sebagai penyakit dari jiwa, kedua
mazhab itu akan mengakui bahwa mereka tidak mempunyai sangkut paut dengan aspek
itu dan akan merujuknya kepada ahli ibadah, atau seorang Sufi, Sheik.Sebagai
catatan kedua saya ingin menambahkan bahwa para pengarang Muslim selalu
menuliskan kata bahasa Yunani “philosophy” dalam bentuk falsafah dengan huruf
“sin” dan bukan huruf “shad” atau “thad” yang adalah satu dari huruf-huruf yang
membentuk kata dalam bahasa Ibrani dan Arab Sapha dan Sophi. Saya kira bentuk
ini dimasukkan ke dalam literatur bahasa Arab oleh penterjemah dari Asiria yang
dahulu termasuk dalam sekte Nestorian. Orang Turki menuliskan Santo Sofia dari
Istambul dengan huruf shad, tetapi falsafah dengan huruf sin seperti halnya
samekh dalam bahasa Ibrani. Saya yakin bahwa Sophia dalam bahasa Yunani secara
etimologi dapat dikenali dari kata bahasa Ibrani; dan bahwa gagasan dalam
kalangan Muslim bahwa kata sophia (sowfiya) berasal dari kata “soph” yang
berarti “wool” haruslah dibuang.Sophia atau kebijakan yang sejati ialah
pengetahuan yang sesungguhnya tentang Tuhan, pengetahuan yang sejati tentang
agama dan moralitas, dan penentuan yang mutlak benar atas Utusan Terakhir di
antara semua Utusan Tuhan, adalah termasuk dalam lembaga kuno orang Israel
‘Mispha’ hingga saat dialihkannya ke Mispha orang Nasrani atau Kristen. Sungguh
hebat melihat betapa lengkap analogi itu dan betapa ekonomi Tuhan yang
berkenaan dengan hubunganNya dengan manusia telah dilaksanakan dengan
keseragaman dan tertib yang mutlak. Mispha adalah filter di mana semua data dan
orang disaring dan diteliti oleh para Musaphphi (bahasa Ibrani Mosappi) seperti
halnya oleh colander (saringan, karena itulah arti kata itu); sehingga yang
asli dibedakan dengan dan dipisahkan dari yang palsu, dan yang murni dari tidak
murni; walaupun abad telah silih berganti, banyak sekali Nabi-Nabi datang dan
pergi, namun Mustapha, Seorang Yang Terpilih, tidak muncul. Kemudian datang
Jesus yang suci; tetapi dia ditolak dan di siksa, karena di Israel tidak ada
lagi Mispha yang resmi yang pasti telah akan mengenali dan mengumumkannya
sebagai Utusan Tuhan yang sejati yang dikirimkanNya untuk membawa kesaksian
atas Mustapha yang adalah Nabi Terakhir yang akan datang sesudahnya. “Dewan
Agung Sinagog” telah berkumpul dan dilembagakan oleh Ezra dan Nehemiah, di mana
“Simeon Yang Adil” adalah anggota terakhirnya (310 S.M.), digantikan oleh
Pengadilan Adi Jeruzalem (Supreme Tribunal of Jeruzalem) yang disebut :
“Sahedrin”; tetapi Dewan yang kemudian itu yang diketuai oleh seorang “Nassi” atau
“Pangeran”, menghukum mati Jesus karena Dewan itu tidak mengakui Jesus dan
sifat dari misi sucinya. Namun beberapa Sufi mengenali Jesus dan mempercayai
misi kenabiannya; namun sejumlah orang menyalah fahaminya sebagai Mustapha atau
Utusan Allah yang “terpilih”, dan menangkap dan mengakuinya sebagai raja,
tetapi beliau lenyap dan menghilang dari antara mereka. Beliau bukanlah
Mustapha, jika bukan maka tidaklah masuk akal untuk menjadikan Simon sebagai
Sapha dan gerejanya sebagai Mispha; karena fungsi dan tugas dari Mispha adalah
untuk mengamati dan mencari tahu Utusan Terakhir, agar bila dia datang dapat
diumumkan sebagai Orang Yang Dipilih dan Ditetapkan – Mustapha. Jika Jesus itu
Mustapha maka tidak perlu lagi ada lembaga Mispha. Ini adalah sebuah subyek
yang mendalam dan menarik; hal itu memerlukan kesabaran dalam mempelajarinya.
0 komentar:
Posting Komentar