Kota Bandung
dikelilingi
oleh pegunungan, sehingga bentuk morfologi wilayahnya bagaikan sebuah mangkok
raksasa,[8] secara geografis kota ini terletak di
tengah-tengah provinsi Jawa Barat, serta berada pada ketinggian ±768 m di atas
permukaan laut, dengan titik tertinggi di berada di sebelah utara dengan
ketinggian 1.050 meter di atas permukaan laut dan sebelah selatan merupakan
kawasan rendah dengan ketinggian 675 meter di atas permukaan laut.
Kota Bandung
dialiri dua sungai utama, yaitu Sungai Cikapundung
dan Sungai Citarum beserta anak-anak sungainya yang
pada umumnya mengalir ke arah selatan dan bertemu di Sungai Citarum. Dengan kondisi yang demikian,
Bandung selatan sangat rentan terhadap masalah banjir terutama pada musim hujan.
Keadaan
geologis dan tanah yang ada di kota Bandung dan sekitarnya terbentuk pada zaman
kwartier dan mempunyai lapisan tanah alluvial hasil letusan Gunung Tangkuban
Parahu. Jenis material di bagian utara umumnya merupakan jenis
andosol begitu juga pada kawasan dibagian tengah dan barat, sedangkan kawasan
dibagian selatan serta timur terdiri atas sebaran jenis alluvial kelabu dengan
bahan endapan tanah liat.
Semetara
iklim kota Bandung dipengaruhi oleh iklim pegunungan yang lembab dan sejuk,
dengan suhu rata-rata 23.5 °C, curah hujan rata-rata 200.4 mm dan jumlah
hari hujan rata-rata 21.3 hari per bulan.[9]
Sejarah
Suasana
Jalan Braga ke arah utara pada tahun (1908)
Kata
"Bandung" berasal dari kata bendung atau bendungan
karena terbendungnya sungai Citarum oleh lava
Gunung Tangkuban
Perahu yang lalu membentuk telaga. Legenda yang diceritakan oleh
orang-orang tua di Bandung mengatakan bahwa nama "Bandung" diambil
dari sebuah kendaraan air yang terdiri dari dua perahu yang diikat berdampingan
yang disebut perahu bandung yang digunakan oleh Bupati Bandung, R.A. Wiranatakusumah
II, untuk melayari Ci Tarum dalam mencari
tempat kedudukan kabupaten yang baru untuk menggantikan ibukota yang lama di Dayeuhkolot.
Berdasarkan
filosofi Sunda, kata "Bandung" berasal dari kalimat
"Nga-Bandung-an Banda Indung", yang merupakan kalimat sakral dan
luhur karena mengandung nilai ajaran Sunda. Nga-"Bandung"-an artinya
menyaksikan atau bersaksi. "Banda" adalah segala sesuatu yang berada
di alam hidup yaitu di bumi dan atmosfer, baik makhluk hidup maupun benda mati.
"Indung" adalah Bumi, disebut juga sebagai "Ibu Pertiwi"
tempat "Banda" berada. Dari Bumi-lah semua dilahirkan ke alam hidup
sebagai "Banda". Segala sesuatu yang berada di alam hidup adalah
"Banda Indung", yaitu Bumi, air, tanah, api, tumbuhan, hewan, manusia
dan segala isi perut bumi. Langit yang berada diluar atmosfir adalah tempat yang
menyaksikan, "Nu Nga-Bandung-an". Yang disebut sebagai Wasa atau
Sanghyang Wisesa, yang berkuasa di langit tanpa batas dan seluruh alam semesta
termasuk Bumi. Jadi kata Bandung mempunyai nilai filosofis sebagai alam tempat
segala makhluk hidup maupun benda mati yang lahir dan tinggal di Ibu Pertiwi
yang keberadaanya disaksikan oleh yang Maha Kuasa.
Kota Bandung
secara geografis memang terlihat dikelilingi oleh pegunungan, dan ini
menunjukkan bahwa pada masa lalu kota Bandung memang merupakan sebuah telaga
atau danau. Legenda Sangkuriang merupakan
legenda yang menceritakan bagaimana terbentuknya danau Bandung, dan bagaimana
terbentuknya Gunung Tangkuban
Perahu, lalu bagaimana pula keringnya danau Bandung sehingga
meninggalkan cekungan seperti sekarang ini. Air dari danau Bandung menurut
legenda tersebut kering karena mengalir melalui sebuah gua yang bernama Sangkyang
Tikoro.
Daerah
terakhir sisa-sisa danau Bandung yang menjadi kering adalah Situ Aksan, yang
pada tahun 1970-an masih merupakan danau tempat berpariwisata, tetapi saat ini
sudah menjadi daerah perumahan untuk pemukiman.
Kota Bandung
mulai dijadikan sebagai kawasan pemukiman sejak pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, melalui Gubernur Jenderalnya
waktu itu Herman Willem Daendels,
mengeluarkan surat keputusan tanggal 25 September 1810
tentang pembangunan sarana dan prasarana untuk kawasan ini. Dikemudian hari
peristiwa ini diabadikan sebagai hari jadi kota Bandung.
Kota Bandung
secara resmi mendapat status gemeente (kota) dari Gubernur Jenderal J.B. van Heutsz
pada tanggal 1 April 1906[11] dengan luas wilayah waktu itu sekitar
900 ha, dan bertambah menjadi 8.000 ha di tahun 1949,
sampai terakhir bertambah menjadi luas wilayah saat ini.[12]
Pada masa
perang kemerdekaan, pada 24 Maret 1946,
sebagian kota ini di bakar oleh para pejuang kemerdekaan sebagai bagian dalam
strategi perang waktu itu. Peristiwa ini dikenal dengan sebutan Bandung Lautan Api
dan diabadikan dalam lagu Halo-Halo
Bandung. Selain itu kota ini kemudian ditinggalkan oleh sebagian
penduduknya yang mengungsi ke daerah lain.
Pada tanggal
18 April 1955
di Gedung Merdeka yang dahulu bernama
"Concordia" (Jl. Asia Afrika, sekarang), berseberangan dengan Hotel Savoy Homann,
diadakan untuk pertama kalinya Konferensi Asia-Afrika
yang kemudian kembali KTT Asia-Afrika 2005
diadakan di kota ini pada 19 April-24 April 2005.
Kependudukan
Tahun
|
Jumlah penduduk
|
226.877
|
|
644.475
|
|
2.315.895
|
|
2.340.624
|
|
2.364.312
|
|
2.390.120
|
|
Sejarah kependudukan kota Bandung
Sumber:[13] |
Kota Bandung
merupakan kota terpadat di Jawa Barat, di mana penduduknya didominasi oleh
etnis Sunda, sedangkan etnis Jawa merupakan penduduk minoritas terbesar di
kota ini dibandingkan etnis lainnya.
Pertambahan
penduduk kota Bandung awalnya berkaitan erat dengan ada sarana transportasi Kereta api yang dibangun sekitar tahun 1880
yang menghubungkan kota ini dengan Jakarta
(sebelumnya bernama Batavia).[11] Pada tahun 1941
tercatat sebanyak 226.877 jiwa jumlah penduduk kota ini[14] kemudian setelah peristiwa yang
dikenal dengan Long March Siliwangi, penduduk kota ini kembali bertambah
dimana pada tahun 1950 tercatat jumlah penduduknya sebanyak 644.475
jiwa.[15]
0 komentar:
Posting Komentar