Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

ANDI FERIANTO ( 25-029-062 )

Memaknai Semangat Dan Jiwa kepahlawanan

        

         Peringatan Hari Pahlawan merupakan kesempatan bagi seluruh bangsa Indonesia bukan semata mengenang jasa-jasa dan pengorbanan para pejuang yang tak terhitung jumlahnya demi memperjuangkan tegaknya Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Hari Pahlawan menjadi momentum berharga bagi generasi penerus bangsa untuk secara arif memaknai kembali nilai-nilai kejuangan pahlawan yang telah mengantarkan bangsa ini ke gerbang kemerdekaan, melalui upaya menumbuhkan kembali karakter atau jati diri bangsa. 

          Ini merupakan kesempatan yang baik untuk selalu memupuk rasa kesadaran berbangsa, bernegara, bermasyarakat di negara Indonesia ini. Setiap epik kepahlawanan senantiasa lahir dari suatu masa kritis. Musa AS melakukan perlawanan terhadap Fir’aun yang menganggap dirinya Tuhan, Muhammad SAW tumbuh dan menyampaikan risalah diatas kegelapan masa jahiliyah, Sholahudin al-Ayyubi mempertahankan Palestina dari gempuran King Richard ‘The Lion Heart’, bahkan seperti seorang Kartini yang gigih memperjuangkan peran perempuan ditengah kultur feodalisme atau Bung Tomo yang membakar semangat arek pejuang kala Surabaya dibombardir imperialis. Kalau kita lihat kembali perjalanan sejarah bangsa besar ini, kita akan menemukan bahwa peran, kontribusi dan perjuangan umat Islam terhadap kemerdekaan begitu besar. Tercatat dalam buku sejarah kita, para pahlawan, syuhada’ dari berbagai pelosok negeri ini adalah nota bene mereka muslim. Mereka berjihad membela tanah airnya dan menegakkan agamanya sekaligus. Dengan jiwa dan raga mereka membela negeri ini. Ada Pangeran Diponegoro di Jawa Tengah, ada Imam Bonjol di Sumatera, ada Kapitan Pattimura Ahmad Lussy, ada Cut Nyak Dien, Teuku Umar dan sederet nama-nama pahlawan nasional lainnya, bahkan ada di antara kakek-nenek kita, orang tua kita yang juga berjuang mengusir penjajah, namun mereka tidak tercatat sebagai pahlawan dan tidak di makamkan di Taman Makam Pahlawan. 

          Kemudian, para pendiri negeri ini meneruskan perjuangan mereka dan memproklamirkan kemerdekaannya. Para pendiri bangsa ini meletakkan dasar negara Indonesia berasaskan Tauhid, Itu terbukti secara konstitusional. Paling tidak ada 3 dalil kanstitusional yang menguatkan hal itu: Pertama, bunyi pembukaan UUD 45 Alinia ketiga, “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.” Pernyataan tegas itu menunjukkan bahwa para pendiri negeri ini sadar betul bahwa kemerdekaan ini bukan semata-mata jerih payah mereka, tapi lebih pada karunia dari Allah swt. Ini sekaligus membuktikan bahwa para pendiri negeri ini religius dan taat beragama. Kedua, adalah bunyi Pasal 29 Ayat 1 Undang-Undang Dasar, “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.” Sebelum rumusan ini disepakati, bunyi ayat itu adalah “Negara berdasarkan Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Delapan kata yang terakhir dicoret, karena umat Islam sangat toleran terhadap agama lain, dan untuk menggantikan delapan kata itu, disepakatilah satu kata, yaitu Esa. Kenapa bukan Maha Kuasa, Maha Besar, Maha Kasih Sayang dst., tapi mengapa dipilih kata Esa. Karena Esa itu berarti Tauhid. Allah swt. berfirman: “Katakanlah, Dialah Allah Yang Esa.” (Al-Ikhlas:1). Ketiga, adalah pasal 31 ayat 3 (hasil amandemen) tentang Pendidikan Nasional Indonesia. Berbunyi, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional,yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.” Subhanallah, jadi kalau kita fair, ketiga landasan konstitusional itu sudah menjadi bukti bahwa negeri ini didirikan karena tekad kuat dari para pendirinya untuk maju, membangun dan menjadi negara yang besar berlandasan tauhid. Berdasarkan akar sejarah bangsa ini -yaitu para pahlawan dan syuhada’ adalah mayoritas muslim dan bukti bahwa semangat para pendiri negeri ini adalah tauhid-, maka sudah seharusnya jika pemimpin negeri ini melanjutkan perjuangan mereka dengan semangat yang sama dan tidak sekali-kali menjadikan umat Islam sebagai kelompok yang dicurigai, didiskriminasi apalagi dijadikan musuh. Dan jangan sampai ada lagi kelompok-kelompok dari pengelola negeri ini yang sengaja mengkait-kaitkan tindak pengkrusakan dan terorisme dengan agama Islam atau agama apapun, apa lagi dengan sengaja menciptakan kondisi dan kesan seperti itu. Sebab, selain tindak pengerusakan dan tindak terorisme bukan dari ajaran agama apapun, apalagi agama Islam, juga berarti kita melupakan sejarah bangsa sendiri dan melupakan perjuangan umat Islam selama ini. Suka tidak suka, mayoritas penduduk negeri ini adalah Muslim. Bahkan menjadi penduduk terbesar Islam di dunia. Bayangkan! Jika semua penduduk muslim Timur Tengah dijadikan satu, itu masih lebih banyak jumlah penduduk Muslim di negeri ini. Inilah fakta dan data, kita tidak bisa memungkirinya. Jadi siapapun kita, dan para pemimpin negeri ini, hendaknya memperlakukan umat Islam secara fair dan bijaksana. Agar negeri ini secara berproses kembali bangkit dan membangun bersama, menjadi negara yang diperhitungkan dipercaturan dunia internasional. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari umat Islam, karena ajaran Islam membawa kasih sayang bagi alam semesta, bagi semua umat manusia tanpa terkecuali “Islam Rahmatan lil’aalamiin”. 

          Pahlawan di hati umat islam adalah para pejuang pembela agama Allah, mereka berjihad menegakan panji-panji islam di seantero negri ini, para syuhada yang rela bersimbah darah sejak jaman rasulullah, sebagaimana kisah kepahlawanan sahabat Rasulullah Miqdad bin Amr yang termasuk dalam rombongan orang-orang yang pertama masuk Islam, dan orang ketujuh yang menyatakan keIslamannya secara terbuka dengan terus terang, serta menanggungkan penderitaan dari amarah murka dan kekejaman Quraisy yang dihadapinya dengan kejantanan para ksatria dan keperwiraan kaum Hawari! Perjuangannya di medan Perang Badar tetap akan jadi tugu peringatan yang selalu semarak takkan pudar. Perjuangan yang mengantarkannya kepada suatu kedudukan puncak, yang dicita dan diangan-angankan oleh seseorang untuk menjadi miliknya. Pada hari ketika Quraisy datang dengan kekuatannya yang dahsyat, dengan semangat dan tekad yang bergelora, dengan kesombongan dan keangkuhan mereka, pada hari itu kaum Muslimin masih sedikit yang sebelumnya tak pernah mengalami peperangan untuk mempertahankan Islam, dan inilah peperangan pertama yang mereka terjuni. Sementara Rasulullah menguji keimanan para pengikutnya dan meneliti persiapan mereka untuk menghadapi tentara musuh yang datang menyerang, baik pasukan pejalan kaki maupun angkatan berkudanya. Para sahabat dibawanya bermusyawarah; dan mereka mengetahui bahwa jika beliau meminta buah pikiran dan pendapat mereka, maka hal itu dimaksudnya secara bersungguh-sungguh. Artinya dari setiap mereka dimintanya pendirian dan pendapat yang sebenarnya, hingga bila ada di antara mereka yang berpendapat lain yang berbeda dengan pendapat umum, maka ia tak usah takut atau akan mendapat penyesalan. Miqdad khawatir kalau ada di antara Kaum Muslimin yang terlalu berhati-hati terhadap perang.

          Maka dari itu sebelum ada yang angkat bicara, Miqdad ingin mendahului mereka, agar dengan kalimat-kalimat yang tegas dapat menyalakan perjuangan dan turut mengambil bagian dalam membentuk pendapat umum. Tetapi sebelum ia menggerakan kedua bibirnya, Abu Bakar Shiddiq RA telah mulai bicara, dan baik sekali buah pembicaraannya itu, hingga hati Miqdad menjadi tenteram karenanya. Setelah itu Umar bin Khatthab RA menyusul bicara, dan buah pembicaraannya juga baik. Maka tampillah Miqdad, katanya, “Ya Rasulullah, teruskanlah laksanakan apa yang dititahkan Allah, dan kami akan bersama anda….! Demi Allah kami tidak akan berkata seperti yang dikatakan Bani Israil kepada Musa, ‘Pergilah kamu bersama Tuhanmu dan berperanglah, sedang kami akan duduk menunggu di sini. Tetapi kami akan mengatakan kepada anda, ‘Pergilah anda bersama Tuhan anda dan berperanglah, sementara kami ikut berjuang di samping anda….!’ Seandainya anda membawa kami melalui lautan lumpur, kami akan berjuang bersama anda dengan tabah hingga mencapai tujuan, dan kami akan bertempur di sebelah kanan dan di sebelah kiri anda, di bagian depan dan di bagian belakang anda, sampai Allah memberi anda kemenangan….!” Kata-katanya itu mengalir tak ubahnya bagai anak panah yang lepas dari busurnya. Dan wajah Rasulullah yang berseri-seri karenanya, sementara mulutnya komat-kamit mengucapkan do’a yang baik untuk Miqdad. Serta dari kata-kata tegas yang dilepasnya itu mengalirlah semangat kepahlawanan dalam kumpulan yang baik dari orang-orang beriman, bahkan dengan kekuatan dan ketegasannya, kata-kata itu pun menjadi contoh teladan bagi siapa yang ingin bicara, menjadi semboyan dalam perjuangan….! Maka tak heran bila Miqdad memperoleh kehormatan dari Rasulullah SAW dan menerima ucapan, “Sungguh, Allah telah menyuruhku untuk mencintaimu, dan menyampaikan pesan-Nya padaku bahwa Ia mencintaimu.” Berawal dari kepahlawanan Miqdad bin Amr, sudahkah kita mewarisi jiwa dan semangat kepahlawanan seperti beliau? Yang dengan gagah beraninya berjuang membela Islam, sampai darah penghabisan. 

          Seharusnya kita bisa belajar serta meniru semangat kepahlawanan beliau. Indonesia pun tumbuh dengan semangat perjuangan para pahlawannya yang telah berjuang dengan tetesan darah dan air mata. Namun seringkali moment Hari Pahlawan pada 10 November hanya sebagai peringatan seremonial belaka. Slogan “bangsa besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya” sudahkah benar-benar bermakna? Inilah instrospeksi buat kita. Terutama buat para pemudanya. Kini, ketika negara dan bangsa kita memasuki periode baru yang penuh dengan berbagai masalah dan krisis, ada baiknya bila kita mengenang dan merenungi kembali makna hari pahlawan. Tengoklah berapa juta massa rakyat Indonesia yang terbelenggu dalam kemiskinan, mereka yang tidak mampu sekolah, pengangguran yang menumpuk, petani yang dirampas tanahnya, buruh dengan gaji rendah, belum lagi kanker korupsi yang masih menjamur di tubuh birokrasi atau pemerintahan di Negeri besar yang bernama Indonesia tercintai ini Pada saat ini, negara memanggil putra-putrinya bukan untuk angkat senjata melawan penjajah, melainkan melawan kebodohan, kemiskinan, serta kanker korupsi yang merajalela di mana-mana. Dibutuhkan pahlawan dan negarawan sejati yang mau berjuang bagi bangsa dan Negara. Dan bukan untuk memperkaya diri sendiri, kelompok, dan golongannya saja, dibutuhkan sesosok pahlawan teladan sebagaimana sikap dan kepemimpinan Nabi Muhammad SAW Tan Malaka membuat sebuah illustrasi yang menyedihkan tentang keadaan rakyat: Beberapa juta jiwa sekarang hidup dalam keadaan "pagi makan, petang tidak". Mereka tidak bertanah dan beralat lagi, tidak berpengharapan di belakang hari. Kekuasaan atas tanah pabrik, alat-alat pengangkutan dan barang perdagangan, kini semuanya dipusatkan dalam tangan beberapa sindikat...demikianlah rakyat Indonesia. Gambaran itu kini menjadi nyata di sebuah republik yang telah setengah abad lebih merdeka. 

         Memaknai hari pahlawan tidak akan pernah terlepas dari peran serta generasi muda sebagai calon penerima tongkat estafet kepemimpinan bangsa melalui tindakan konkret sesuai dengan tuntutan jaman bagi kesinambungan penyelenggaraan pembangunan bangsa, sebagaimana yang telah dicontohkan dan diperjuangkan melalui pergerakan fisik di masa lalu. Dalam konteks kekinian, kepahlawanan bukan lagi memanggul senjata atau menenteng bambu runcing bertarung fisik melawan musuh, melainkan individu-individu atau kelompok-kelompok masyarakat, khususnya generasi muda, dari berbagai tingkatan dan disiplin ilmu yang secara ikhlas rela berkorban demi mengangkat harkat dan martabat masyarakat bangsa dalam arti yang seluas-luasnya. Bangsa ini membutuhkan pahlawan baru dan negarawan masa kini yang memiliki sikap tegar dalam membela kebenaran serta berani berkorban untuk menanggalkan keegoisan, sebagaimana pesan historis hari pahlawan bahwa pengorbanan berlaku di mana saja dan kapan saja sepanjang masa. 

          Bangsa ini mencari pahlawan dan negarawan sejati untuk melanjutkan tongkat estafet menjaga kelangsungan bangsa masa depan. Kita tentunya berharap semoga ribuan pahlawan tidak gugur sia-sia dan hanya tinggal nama. Semoga kepahlawanan mereka tidak sekadar menjadi teks cerita. Dan semuanya tergantung bagaimana kita meneladaninya. Tetapi menjadi pahlawan tidak hanya sekedar harus maju ke medan perang, pahlawan masa kini jauh lebih berat karena musuh yang kita hadapi tidak kelihatan wujudnya. Lalu apa sebenarnya musuh kita saat ini? Musuh yang harus kita hadapi saat ini adalah kemalasan, kemunafikan, keegoisan, dan berbagai macam sifat-sifat duniawi yang tidak mencerminkan jiwa kepahlawanan. Tapi, dengan kesadaran pribadi dan dukungan dari lingkungan di sekitar kita terutama di keluarga masing-masing, maka yakinlah, kita akan mampu menghadapi dan menjadikan bangsa kita bangsa yang besar, bangsa yang tidak hanya bisa berkata “kami menghargaimu pahlawan” tapi juga turut serta menjadi seorang pahlawan sejati masa kini. Menjadi seorang wanita atau laki-laki, tua atau muda tidak bisa ditawar-tawar, tapi mau atau tidak ikut berpartisipasi itu adalah pilihan. Pilihan untuk menjadi pahlawan. Secara sederhana pahlawan itu adalah orang biasa yang mampu mengerjakan pekerjaan luar biasa. Dan biasanya dampak pekerjaannya itu dirasakan oleh orang banyak. 

        Sehingga wajar bila seorang pahlawan memiliki banyak pengikut. Juga dalam kemunculannya, seorang pahlawan senantiasa membentuk sejarah, bukan hanya sekedar bagian dari sejarah untuk selanjutnya menjadi usang dan terlupakan. Namun yang juga perlu diingat, hendaklah kita menjadi pahlawan dunia akhirat. Buat apa menjadi pahlawan yang di sanjung dan dihormati didunia, namun malah mendapat siksa dineraka. Kita tentunya tidak ingin bila ada yang mengenang kita sambil menangis terisak-isak mengenang jasa dan kepahlawanan kita, eh… ternyata kita yang dikenangnya sedang disiksa dialam kubur karena orientasi kepahlawanan kita cuma tertuju pada dunia saja Bangsa Indonesia saat ini masih terus bergolak membangun ulang kejayaan. Salah satu pilar untuk ini adalah dengan memperkenalkan sosok-sosok kepahlawanan di tengah masyarakat. Masyarakat saat ini memang sangat haus menanti tetesan-tetesan embun kepahlawanan di tengah gersangnya kehidupan. Mereka menanti ruang-ruang sejarah diisi oleh manusia-manusia yang mau berpikir dan bekerja keras. Manusia-manusia yang punya kesadaran kuat, bahwa eksistensi dalam hidupnya adalah untuk membangun dan merekayasa sejarah kemanusiaan ke arah yang lebih baik. Dan bukan tidak mungkin sosok itu muncul dari kita-kita sendiri, yaitu para pemuda! 

 

 

Sumber : Lembar Jumat Hikmah Birru

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar