Memaknai Semangat Dan Jiwa kepahlawanan
Peringatan Hari Pahlawan merupakan kesempatan bagi seluruh bangsa
Indonesia bukan semata mengenang jasa-jasa dan pengorbanan para pejuang
yang tak terhitung jumlahnya demi memperjuangkan tegaknya Republik
Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Hari Pahlawan
menjadi momentum berharga bagi generasi penerus bangsa untuk secara arif
memaknai kembali nilai-nilai kejuangan pahlawan yang telah mengantarkan
bangsa ini ke gerbang kemerdekaan, melalui upaya menumbuhkan kembali
karakter atau jati diri bangsa.
Ini merupakan kesempatan yang baik untuk
selalu memupuk rasa kesadaran berbangsa, bernegara, bermasyarakat di
negara Indonesia ini.
Setiap epik kepahlawanan senantiasa lahir dari suatu masa kritis. Musa
AS melakukan perlawanan terhadap Fir’aun yang menganggap dirinya Tuhan,
Muhammad SAW tumbuh dan menyampaikan risalah diatas kegelapan masa
jahiliyah, Sholahudin al-Ayyubi mempertahankan Palestina dari gempuran
King Richard ‘The Lion Heart’, bahkan seperti seorang Kartini yang gigih
memperjuangkan peran perempuan ditengah kultur feodalisme atau Bung
Tomo yang membakar semangat arek pejuang kala Surabaya dibombardir
imperialis.
Kalau kita lihat kembali perjalanan sejarah bangsa besar ini, kita akan
menemukan bahwa peran, kontribusi dan perjuangan umat Islam terhadap
kemerdekaan begitu besar. Tercatat dalam buku sejarah kita, para
pahlawan, syuhada’ dari berbagai pelosok negeri ini adalah nota bene
mereka muslim. Mereka berjihad membela tanah airnya dan menegakkan
agamanya sekaligus. Dengan jiwa dan raga mereka membela negeri ini. Ada
Pangeran Diponegoro di Jawa Tengah, ada Imam Bonjol di Sumatera, ada
Kapitan Pattimura Ahmad Lussy, ada Cut Nyak Dien, Teuku Umar dan sederet
nama-nama pahlawan nasional lainnya, bahkan ada di antara kakek-nenek
kita, orang tua kita yang juga berjuang mengusir penjajah, namun mereka
tidak tercatat sebagai pahlawan dan tidak di makamkan di Taman Makam
Pahlawan.
Kemudian, para pendiri negeri ini meneruskan perjuangan mereka
dan memproklamirkan kemerdekaannya.
Para pendiri bangsa ini meletakkan dasar negara Indonesia berasaskan
Tauhid, Itu terbukti secara konstitusional. Paling tidak ada 3 dalil
kanstitusional yang menguatkan hal itu:
Pertama, bunyi pembukaan UUD 45 Alinia ketiga, “Atas berkat rahmat Allah
Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya
berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan
dengan ini kemerdekaannya.” Pernyataan tegas itu menunjukkan bahwa para
pendiri negeri ini sadar betul bahwa kemerdekaan ini bukan semata-mata
jerih payah mereka, tapi lebih pada karunia dari Allah swt. Ini
sekaligus membuktikan bahwa para pendiri negeri ini religius dan taat
beragama.
Kedua, adalah bunyi Pasal 29 Ayat 1 Undang-Undang Dasar, “Negara
berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.” Sebelum rumusan ini disepakati,
bunyi ayat itu adalah “Negara berdasarkan Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Delapan kata yang
terakhir dicoret, karena umat Islam sangat toleran terhadap agama lain,
dan untuk menggantikan delapan kata itu, disepakatilah satu kata, yaitu
Esa. Kenapa bukan Maha Kuasa, Maha Besar, Maha Kasih Sayang dst., tapi
mengapa dipilih kata Esa. Karena Esa itu berarti Tauhid. Allah swt.
berfirman: “Katakanlah, Dialah Allah Yang Esa.” (Al-Ikhlas:1).
Ketiga, adalah pasal 31 ayat 3 (hasil amandemen) tentang Pendidikan
Nasional Indonesia. Berbunyi, “Pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional,yang meningkatkan
keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.”
Subhanallah, jadi kalau kita fair, ketiga landasan konstitusional itu
sudah menjadi bukti bahwa negeri ini didirikan karena tekad kuat dari
para pendirinya untuk maju, membangun dan menjadi negara yang besar
berlandasan tauhid.
Berdasarkan akar sejarah bangsa ini -yaitu para pahlawan dan syuhada’
adalah mayoritas muslim dan bukti bahwa semangat para pendiri negeri ini
adalah tauhid-, maka sudah seharusnya jika pemimpin negeri ini
melanjutkan perjuangan mereka dengan semangat yang sama dan tidak
sekali-kali menjadikan umat Islam sebagai kelompok yang dicurigai,
didiskriminasi apalagi dijadikan musuh. Dan jangan sampai ada lagi
kelompok-kelompok dari pengelola negeri ini yang sengaja
mengkait-kaitkan tindak pengkrusakan dan terorisme dengan agama Islam
atau agama apapun, apa lagi dengan sengaja menciptakan kondisi dan kesan
seperti itu. Sebab, selain tindak pengerusakan dan tindak terorisme
bukan dari ajaran agama apapun, apalagi agama Islam, juga berarti kita
melupakan sejarah bangsa sendiri dan melupakan perjuangan umat Islam
selama ini.
Suka tidak suka, mayoritas penduduk negeri ini adalah Muslim. Bahkan
menjadi penduduk terbesar Islam di dunia. Bayangkan! Jika semua penduduk
muslim Timur Tengah dijadikan satu, itu masih lebih banyak jumlah
penduduk Muslim di negeri ini. Inilah fakta dan data, kita tidak bisa
memungkirinya. Jadi siapapun kita, dan para pemimpin negeri ini,
hendaknya memperlakukan umat Islam secara fair dan bijaksana. Agar
negeri ini secara berproses kembali bangkit dan membangun bersama,
menjadi negara yang diperhitungkan dipercaturan dunia internasional.
Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari umat Islam, karena ajaran Islam
membawa kasih sayang bagi alam semesta, bagi semua umat manusia tanpa
terkecuali “Islam Rahmatan lil’aalamiin”.
Pahlawan di hati umat islam adalah para pejuang pembela agama Allah,
mereka berjihad menegakan panji-panji islam di seantero negri ini, para
syuhada yang rela bersimbah darah sejak jaman rasulullah, sebagaimana
kisah kepahlawanan sahabat Rasulullah Miqdad bin Amr yang termasuk dalam
rombongan orang-orang yang pertama masuk Islam, dan orang ketujuh yang
menyatakan keIslamannya secara terbuka dengan terus terang, serta
menanggungkan penderitaan dari amarah murka dan kekejaman Quraisy yang
dihadapinya dengan kejantanan para ksatria dan keperwiraan kaum Hawari!
Perjuangannya di medan Perang Badar tetap akan jadi tugu peringatan yang
selalu semarak takkan pudar. Perjuangan yang mengantarkannya kepada
suatu kedudukan puncak, yang dicita dan diangan-angankan oleh seseorang
untuk menjadi miliknya.
Pada hari ketika Quraisy datang dengan kekuatannya yang dahsyat, dengan
semangat dan tekad yang bergelora, dengan kesombongan dan keangkuhan
mereka, pada hari itu kaum Muslimin masih sedikit yang sebelumnya tak
pernah mengalami peperangan untuk mempertahankan Islam, dan inilah
peperangan pertama yang mereka terjuni.
Sementara Rasulullah menguji keimanan para pengikutnya dan meneliti
persiapan mereka untuk menghadapi tentara musuh yang datang menyerang,
baik pasukan pejalan kaki maupun angkatan berkudanya. Para sahabat
dibawanya bermusyawarah; dan mereka mengetahui bahwa jika beliau meminta
buah pikiran dan pendapat mereka, maka hal itu dimaksudnya secara
bersungguh-sungguh. Artinya dari setiap mereka dimintanya pendirian dan
pendapat yang sebenarnya, hingga bila ada di antara mereka yang
berpendapat lain yang berbeda dengan pendapat umum, maka ia tak usah
takut atau akan mendapat penyesalan.
Miqdad khawatir kalau ada di antara Kaum Muslimin yang terlalu
berhati-hati terhadap perang.
Maka dari itu sebelum ada yang angkat
bicara, Miqdad ingin mendahului mereka, agar dengan kalimat-kalimat yang
tegas dapat menyalakan perjuangan dan turut mengambil bagian dalam
membentuk pendapat umum.
Tetapi sebelum ia menggerakan kedua bibirnya, Abu Bakar Shiddiq RA telah
mulai bicara, dan baik sekali buah pembicaraannya itu, hingga hati
Miqdad menjadi tenteram karenanya. Setelah itu Umar bin Khatthab RA
menyusul bicara, dan buah pembicaraannya juga baik.
Maka tampillah Miqdad, katanya, “Ya Rasulullah, teruskanlah laksanakan
apa yang dititahkan Allah, dan kami akan bersama anda….! Demi Allah kami
tidak akan berkata seperti yang dikatakan Bani Israil kepada Musa,
‘Pergilah kamu bersama Tuhanmu dan berperanglah, sedang kami akan duduk
menunggu di sini. Tetapi kami akan mengatakan kepada anda, ‘Pergilah
anda bersama Tuhan anda dan berperanglah, sementara kami ikut berjuang
di samping anda….!’ Seandainya anda membawa kami melalui lautan lumpur,
kami akan berjuang bersama anda dengan tabah hingga mencapai tujuan, dan
kami akan bertempur di sebelah kanan dan di sebelah kiri anda, di
bagian depan dan di bagian belakang anda, sampai Allah memberi anda
kemenangan….!”
Kata-katanya itu mengalir tak ubahnya bagai anak panah yang lepas dari
busurnya. Dan wajah Rasulullah yang berseri-seri karenanya, sementara
mulutnya komat-kamit mengucapkan do’a yang baik untuk Miqdad. Serta dari
kata-kata tegas yang dilepasnya itu mengalirlah semangat kepahlawanan
dalam kumpulan yang baik dari orang-orang beriman, bahkan dengan
kekuatan dan ketegasannya, kata-kata itu pun menjadi contoh teladan bagi
siapa yang ingin bicara, menjadi semboyan dalam perjuangan….!
Maka tak heran bila Miqdad memperoleh kehormatan dari Rasulullah SAW dan
menerima ucapan, “Sungguh, Allah telah menyuruhku untuk mencintaimu,
dan menyampaikan pesan-Nya padaku bahwa Ia mencintaimu.”
Berawal dari kepahlawanan Miqdad bin Amr, sudahkah kita mewarisi jiwa
dan semangat kepahlawanan seperti beliau? Yang dengan gagah beraninya
berjuang membela Islam, sampai darah penghabisan.
Seharusnya kita bisa
belajar serta meniru semangat kepahlawanan beliau.
Indonesia pun tumbuh dengan semangat perjuangan para pahlawannya yang
telah berjuang dengan tetesan darah dan air mata. Namun seringkali
moment Hari Pahlawan pada 10 November hanya sebagai peringatan
seremonial belaka. Slogan “bangsa besar adalah bangsa yang menghargai
jasa para pahlawannya” sudahkah benar-benar bermakna? Inilah
instrospeksi buat kita. Terutama buat para pemudanya.
Kini, ketika negara dan bangsa kita memasuki periode baru yang penuh
dengan berbagai masalah dan krisis, ada baiknya bila kita mengenang dan
merenungi kembali makna hari pahlawan. Tengoklah berapa juta massa
rakyat Indonesia yang terbelenggu dalam kemiskinan, mereka yang tidak
mampu sekolah, pengangguran yang menumpuk, petani yang dirampas
tanahnya, buruh dengan gaji rendah, belum lagi kanker korupsi yang masih
menjamur di tubuh birokrasi atau pemerintahan di Negeri besar yang
bernama Indonesia tercintai ini
Pada saat ini, negara memanggil putra-putrinya bukan untuk angkat
senjata melawan penjajah, melainkan melawan kebodohan, kemiskinan, serta
kanker korupsi yang merajalela di mana-mana. Dibutuhkan pahlawan dan
negarawan sejati yang mau berjuang bagi bangsa dan Negara. Dan bukan
untuk memperkaya diri sendiri, kelompok, dan golongannya saja,
dibutuhkan sesosok pahlawan teladan sebagaimana sikap dan kepemimpinan
Nabi Muhammad SAW
Tan Malaka membuat sebuah illustrasi yang menyedihkan tentang keadaan
rakyat: Beberapa juta jiwa sekarang hidup dalam keadaan "pagi makan,
petang tidak". Mereka tidak bertanah dan beralat lagi, tidak
berpengharapan di belakang hari. Kekuasaan atas tanah pabrik, alat-alat
pengangkutan dan barang perdagangan, kini semuanya dipusatkan dalam
tangan beberapa sindikat...demikianlah rakyat Indonesia.
Gambaran itu kini menjadi nyata di sebuah republik yang telah setengah
abad lebih merdeka.
Memaknai hari pahlawan tidak akan pernah terlepas
dari peran serta generasi muda sebagai calon penerima tongkat estafet
kepemimpinan bangsa melalui tindakan konkret sesuai dengan tuntutan
jaman bagi kesinambungan penyelenggaraan pembangunan bangsa, sebagaimana
yang telah dicontohkan dan diperjuangkan melalui pergerakan fisik di
masa lalu. Dalam konteks kekinian, kepahlawanan bukan lagi memanggul
senjata atau menenteng bambu runcing bertarung fisik melawan musuh,
melainkan individu-individu atau kelompok-kelompok masyarakat, khususnya
generasi muda, dari berbagai tingkatan dan disiplin ilmu yang secara
ikhlas rela berkorban demi mengangkat harkat dan martabat masyarakat
bangsa dalam arti yang seluas-luasnya. Bangsa ini membutuhkan pahlawan
baru dan negarawan masa kini yang memiliki sikap tegar dalam membela
kebenaran serta berani berkorban untuk menanggalkan keegoisan,
sebagaimana pesan historis hari pahlawan bahwa pengorbanan berlaku di
mana saja dan kapan saja sepanjang masa.
Bangsa ini mencari pahlawan dan
negarawan sejati untuk melanjutkan tongkat estafet menjaga kelangsungan
bangsa masa depan.
Kita tentunya berharap semoga ribuan pahlawan tidak gugur sia-sia dan
hanya tinggal nama. Semoga kepahlawanan mereka tidak sekadar menjadi
teks cerita. Dan semuanya tergantung bagaimana kita meneladaninya.
Tetapi menjadi pahlawan tidak hanya sekedar harus maju ke medan perang,
pahlawan masa kini jauh lebih berat karena musuh yang kita hadapi tidak
kelihatan wujudnya. Lalu apa sebenarnya musuh kita saat ini? Musuh yang
harus kita hadapi saat ini adalah kemalasan, kemunafikan, keegoisan, dan
berbagai macam sifat-sifat duniawi yang tidak mencerminkan jiwa
kepahlawanan. Tapi, dengan kesadaran pribadi dan dukungan dari
lingkungan di sekitar kita terutama di keluarga masing-masing, maka
yakinlah, kita akan mampu menghadapi dan menjadikan bangsa kita bangsa
yang besar, bangsa yang tidak hanya bisa berkata “kami menghargaimu
pahlawan” tapi juga turut serta menjadi seorang pahlawan sejati masa
kini. Menjadi seorang wanita atau laki-laki, tua atau muda tidak bisa
ditawar-tawar, tapi mau atau tidak ikut berpartisipasi itu adalah
pilihan. Pilihan untuk menjadi pahlawan.
Secara sederhana pahlawan itu adalah orang biasa yang mampu mengerjakan
pekerjaan luar biasa. Dan biasanya dampak pekerjaannya itu dirasakan
oleh orang banyak.
Sehingga wajar bila seorang pahlawan memiliki banyak
pengikut. Juga dalam kemunculannya, seorang pahlawan senantiasa
membentuk sejarah, bukan hanya sekedar bagian dari sejarah untuk
selanjutnya menjadi usang dan terlupakan. Namun yang juga perlu diingat,
hendaklah kita menjadi pahlawan dunia akhirat. Buat apa menjadi
pahlawan yang di sanjung dan dihormati didunia, namun malah mendapat
siksa dineraka. Kita tentunya tidak ingin bila ada yang mengenang kita
sambil menangis terisak-isak mengenang jasa dan kepahlawanan kita, eh…
ternyata kita yang dikenangnya sedang disiksa dialam kubur karena
orientasi kepahlawanan kita cuma tertuju pada dunia saja
Bangsa Indonesia saat ini masih terus bergolak membangun ulang kejayaan.
Salah satu pilar untuk ini adalah dengan memperkenalkan sosok-sosok
kepahlawanan di tengah masyarakat. Masyarakat saat ini memang sangat
haus menanti tetesan-tetesan embun kepahlawanan di tengah gersangnya
kehidupan. Mereka menanti ruang-ruang sejarah diisi oleh manusia-manusia
yang mau berpikir dan bekerja keras. Manusia-manusia yang punya
kesadaran kuat, bahwa eksistensi dalam hidupnya adalah untuk membangun
dan merekayasa sejarah kemanusiaan ke arah yang lebih baik. Dan bukan
tidak mungkin sosok itu muncul dari kita-kita sendiri, yaitu para
pemuda!
Sumber : Lembar Jumat Hikmah Birru
0 komentar:
Posting Komentar